Radarriaunet | Pekanbaru – Genap satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, narasi keberhasilan pembangunan yang "berjalan simultan" dan telah "dirasakan manfaatnya hingga ke daerah" seperti yang disampaikan oleh Anggota Komisi III DPRD Riau, Edi Basri, perlu disandingkan dengan tinjauan kritis yang lebih mendalam mengenai tantangan dan kesenjangan yang masih menghantui Provinsi Riau, terutama dalam konteks otonomi daerah, efektivitas program nasional, dan supremasi hukum.
Edi Basri menyoroti suksesnya realisasi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang disebutnya telah mencapai "300-an titik" di Kampar dan wilayah lain di Riau. Namun, apresiasi ini perlu diiringi dengan evaluasi terhadap kritik nasional yang menyebut program seperti MBG masih menghadapi masalah dalam konsep, efisiensi anggaran, dan ketepatan sasaran di beberapa wilayah.
Meskipun Kabupaten Kampar sempat diapresiasi oleh Kantor Staf Presiden (KSP) sebagai contoh nasional dalam pelaksanaan MBG, laporan lapangan lainnya menunjukkan masih perlunya pengetatan pengawasan kualitas dan keamanan pangan. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: sejauh mana 300 titik tersebut mampu menutup jurang gizi di seluruh Riau, dan bagaimana mekanisme pengawasan di daerah memastikan program ini tidak menjadi "malpraktek" seperti yang dikhawatirkan beberapa pengamat di tingkat nasional.
Penurunan pendapatan daerah yang diakui Edi Basri, disebutnya sebagai "dorongan menuju kemandirian fiskal daerah" dari kebijakan Presiden. Pandangan ini cenderung mengabaikan kekhawatiran yang disuarakan oleh beberapa pengamat otonomi daerah.
Menurut beberapa kajian, satu tahun pemerintahan ini menunjukkan konsistensi dalam meningkatkan arus resentralisasi, yang dapat menciptakan turbulensi anggaran dan kegamangan eksistensial bagi otonomi daerah. Penurunan pendapatan di Riau bisa jadi merupakan konsekuensi langsung dari inkonsistensi kebijakan yang tidak sejalan dengan janji penguatan otonomi daerah. Ketergantungan daerah untuk "menggali potensi-potensi pajak" tanpa dukungan alokasi Dana Transfer ke Daerah (TKD) yang stabil dan adil berpotensi menghambat kinerja pembangunan dan pelayanan publik.
Klaim Edi Basri mengenai membaiknya kinerja pertanian dan ketersediaan subsidi di sektor ini, khususnya dalam produksi beras, memang sejalan dengan arahan pemerintah pusat untuk berfokus pada swasembada pangan. Namun, keberhasilan ini sangat bergantung pada realitas adaptasi terhadap variabilitas iklim seperti El Nino dan La Nina, yang sering kali tidak terkendali.
Ditengah optimisme ini, masyarakat Riau juga menghadapi sorotan nasional terkait inflasi dan daya beli yang belum stabil. Jika harga kebutuhan pokok masih mahal, peningkatan produksi beras saja tidak cukup untuk menjamin kesejahteraan dan daya beli rakyat. Diperlukan juga kebijakan proteksi insentif pertanian yang lebih nyata dan berkelanjutan bagi para petani lokal di Riau.
Pemerintah memang layak diapresiasi atas keberhasilan mengembalikan 81.000 hektare kawasan hutan lindung menjadi aset negara. Ini adalah capaian signifikan dalam penegakan hukum di bidang sumber daya alam.
Namun, tinjauan terhadap supremasi hukum secara umum di tingkat nasional memperlihatkan kritik tentang belum adanya progres signifikan dalam reformasi ketatanegaraan dan pemberantasan korupsi yang serius dan strategis. Di Riau sendiri, kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terkait konflik lahan dan penguasaan sumber daya alam seringkali terjadi, dan keberhasilan penyitaan hutan lindung harus diikuti dengan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM dan dugaan kriminalisasi terhadap masyarakat lokal yang menyuarakan kritik atau terlibat dalam sengketa lahan. Keadilan hukum yang utuh tidak hanya berhenti pada pengembalian aset negara, tetapi juga pada perlindungan hak-hak rakyat.
Meskipun pemerintahan Presiden Prabowo dalam satu tahun ini menunjukkan komitmen terhadap program pembangunan dan infrastruktur di Riau—seperti yang ditunjukkan oleh proyek tol yang berlanjut—penilaian terhadap "berjalan simultan" harus lebih berhati-hati. Pembangunan infrastruktur dan program nasional perlu dinilai tidak hanya dari realisasi fisik, tetapi juga dampaknya terhadap kesejahteraan riil, stabilitas fiskal daerah, dan penguatan nilai-nilai supremasi hukum dan demokrasi. Kesenjangan antara kebijakan pusat dan kebutuhan otonomi daerah di Riau tetap menjadi tantangan serius yang membutuhkan sinergi yang lebih substantif dan transparan.
[]