Radarriaunet | Jakarta— Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) secara tegas meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Disabilitas) yang diajukan oleh pemohon dengan penyakit kronis. Permohonan ini secara spesifik meminta agar penyakit kronis dimasukkan sebagai salah satu ragam penyandang disabilitas dalam UU tersebut.
Permintaan penolakan ini disampaikan oleh perwakilan DPR, Wakil Ketua Komisi III, Sari Yuliati, dalam sidang daring yang digelar pada Selasa, 21 Oktober 2025. DPR berpendapat bahwa permohonan tersebut, yang dikenal sebagai permohonan a quo, harus ditolak secara keseluruhan, atau setidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
Asesmen Medis Jadi Kunci Pemisahan Definisi.
Alasan utama yang dikemukakan DPR adalah bahwa tidak semua jenis penyakit kronis secara langsung dan otomatis dapat menyebabkan kondisi disabilitas. Definisi disabilitas, menurut DPR, harus didasarkan pada dampak keterbatasan fungsional yang signifikan, bukan semata-mata diagnosis penyakitnya.
"Sebab itu, asesmen dokter atau tenaga kesehatan untuk menentukan penyakit kronis sebagai penyebab disabilitas menjadi hal yang sangat penting dan krusial," ujar Sari Yuliati.
Ia menekankan bahwa penilaian medis harus berfungsi sebagai 'jembatan' antara kerangka hukum perlindungan disabilitas dengan implementasi praktis hak-hak individu yang menderita penyakit kronis. Penilaian ini, lanjutnya, wajib mempertimbangkan berbagai faktor komprehensif, seperti perkembangan gejala, potensi kekambuhan, serta sifat jangka panjang dari kondisi kesehatan tersebut. Dengan demikian, pengakuan status disabilitas harus didasarkan pada tingkat keparahan dan dampaknya terhadap fungsi kehidupan sehari-hari, bukan sekadar nama penyakitnya.
Potensi Kontraproduktif dan Pengaburan Fokus Kebijakan
Selain pertimbangan medis, DPR juga menyoroti potensi konsekuensi negatif terhadap sistem perlindungan disabilitas yang ada. Sari Yuliati khawatir bahwa perluasan spektrum definisi disabilitas dengan memasukkan semua penyakit kronis akan menjadi kontraproduktif.
"Hal tersebut berpotensi menimbulkan multitafsir dan memperluas spektrum fokus kebijakan perlindungan disabilitas," jelasnya.
Menurut pandangan DPR, pelebaran cakupan ini akan mempersulit proses implementasi kebijakan perlindungan disabilitas dan berisiko mengaburkan fokus perlindungan dari kelompok yang paling membutuhkan akomodasi yang layak. Dampak lebih lanjut yang dikhawatirkan adalah penurunan efektivitas alokasi sumber daya negara yang terbatas, yang seharusnya diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan esensial penyandang disabilitas yang sudah diakui.
Sikap Pemerintah Sejalan dengan DPR
Sikap DPR ini sejalan dengan pandangan Pemerintah yang telah disampaikan dalam sidang sebelumnya, tepat dua minggu sebelumnya pada Selasa, 7 Oktober 2025. Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, Supomo, yang mewakili Pemerintah, juga meminta MK untuk menolak permohonan yang sama.
Pemerintah juga berargumen bahwa penyakit kronis bukanlah disabilitas itu sendiri, meskipun tidak dipungkiri bahwa kondisi penyakit kronis memang berpotensi menjadi penyebab seseorang mengalami disabilitas. Intinya, baik Pemerintah maupun DPR kompak menolak pandangan bahwa diagnosis penyakit kronis secara umum sudah cukup untuk memberikan status penyandang disabilitas, melainkan harus dinilai dari sejauh mana penyakit tersebut menyebabkan keterbatasan fungsi jangka panjang yang menghambat interaksi sosial dan partisipasi penuh.
(Ig)