PESAN UNTUK PARA CALON MENTERI DAN PIMPINAN LEMBAGA YANG MEMBIDANGI KEAMANAN NASIONAL

Administrator - Senin, 07 Oktober 2024 - 19:42:12 wib
PESAN UNTUK PARA CALON MENTERI DAN PIMPINAN LEMBAGA YANG MEMBIDANGI KEAMANAN NASIONAL
Mayjen TNI (Purn) Dr. Saurip Kadi.

Oleh: Mayjen TNI (Purn) Dr. Saurip Kadi.
 

RadarBuana | Berkat kebijakan Reformasi Internal ABRI yang diambil oleh Panglima ABRI yang saat itu dijabat oleh Jenderal TNI Wiranto menjelang berakhirnya Pemerintahan Orde Baru (Orba), bangsa kita selamat, tidak sampai kembali berdarah-darah akibat pengerahan TNI dalam mengatasi kekacauan umum dan menegakkan kedaulatan pemerintah, sebagaimana yang berulang kali terjadi di era sebelumnya. 
Dalam prakteknya, setelah 27 tahun Orba yang militeristik, otoriter dan sarat dengan KKN berakhir, ternyata kini bangsa kita mengalami kemerosotan keadaban yang luar biasa. KKN dan praktek Mafia serta lepasnya etika moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maupun kemunafikan yang dulu di era Orba terkendali dan terkontrol, kini berkembang liar dan bahkan sudah menjadi budaya dari sebagian anak bangsa, terlebih elitnya. 
Mengambil Pelajaran Dari Masa Lalu.      
Paska Dekrit Presiden 5 Juli 1959, perpolitikan nasional kita saat itu bertumpu pada 3 kekuatan yaitu Bung Karno, PKI dan TNI. Maka dapat dipahami, kalau setelah PKI dibubarkan dan Bung Karno tersingkir dari kekuasaan, TNI (AD) mendominasi percaturan politik Indonesia. Untuk mengukuhkan kekuasaannya, Orba menempuh kebijakan penumpasan terhadap G 30’S/PKI dengan operasi militer dalam hal ini oleh TNI-AD, disanalah maka di negara hukum sempat terjadi anak bangsa tidak bersenjata dalam jumlah besar kehilangan nyawa. Sebagian lagi menjalani hukuman pidana kurungan dan atau dikucilkan dalam wilayah tertentu (Pulau Buru) tanpa melalui proses peradilan.  Dan kalau kita mau jujur, sesungguhnya dalam tubuh bangsa kita saat itu kembali lahir dendam kesumat, akibat kekerasan negara setelah sebelumnya terjadi dalam penumpasan DI/TII, PRRI dan Permesta.
Dikemudian hari melalui TAP MPRS dan juga UU, ABRI diposisikan sebagai alat kekuasaan melalui konsep politik DWI FUNGSI ABRI (DFA). ABRI (TNI-AD) kemudian tidak hanya menguasai jabatan pada pemerintahan mulai dari RT, RT, Lurah, Bupati  dan seterusnya keatas sampai ke Presiden, tapi juga menguasai Golkar dengan huruf kecil (Golkar) sebagai Orsospol yang bertindak layaknya “Partai Politik”. Jangankan soal dominasi kepengurusan Golkar, sementara untuk RAPIM 5 tahunan saja yang menggelar Staf Sospol ABRI. Sementara itu, pada Supra Struktur Politik lainnya, Orba menggunakan lembaga GOLKAR (Huruf Besar) yang terdiri dari 3 faksi yaitu “A” (ABRI), “B” (Birokrasi yang diwakili Mendagri) dan “G” dalam hal ini Fraksi Golkar di lembaga perwakilan. Dan ABRI juga duduk di DPR/D dan juga di Lembaga Utusan Golongan di MPR, dengan demikian di lembaga perwakilan baik di MPR dan DPR/D, keberadaan GOLKAR menjadi mayoritas mutlak. Sedang untuk rekruitmen kader Partai dan Ormas apapun, setelah Lembaga Kompkamtib dan Bakorstanas berakhir, di Mabes ABRI dibentuk Wansospolpus, dan Wansospolda untuk ditingkat Kodam.
Orba juga melakukan kontrol sosial dengan menggunakan jajaran Koter TNI-AD dan Aparatur Intelijen ABRI. Disanalah berjuta anak Anggota PKI dengan stempel TIDAK BERSIH LINGKUNGAN dimarginalkan oleh negara. Kesempatan lapangan kerja yang terbuka bagi mereka, untuk yang wanita adalah menjadi PRT atau Pelacur. Sedang untuk yang pria, lapangan kerja yang tersedia adalah buruh tani, kuli bangunan dan pekerjaan kasar lainnya. Mereka mustahil bisa menjadi PNS dan apalagi Prajurit TNI/Polri, sekedar menjadi karyawan Perusahaan Swasta yang menggunakan fasilitas kredit dari Bank pun otomatis akan terganjal oleh status Tidak Bersih Lingkungan. 
Dan dalam kadar yang agak ringan, praktek marginalisasi sejenis juga menimpa anak bangsa yang menganut politik Islam, dengan stigma EKKA. Dan juga kepada kaum terpelajar yang tidak mendukung Orba dengan stigma EKLA. Belum lagi dosa turunan mereka yang terlahir dari keluarga miskin, harus tetap miskin bukan karena mereka pemalas, tapi karena negara salah kelola. Sementara itu Sumber Daya Nasional terlanjur hanya dikuasai sejumlah kroni penguasa masa lalu. Disanalah maka saat ini angka kemiskinan dan kesenjangan sosial di negeri ini sangat tinggi.  Dan karena rancang bangun sistem demokrasi untuk kekinian menggunakan model politik biaya tinggi, maka praktek oligharki di negeri ini kini menjadi sempurna.
Beruntung TNI dalam era demokratisasi memilih untuk ber “TAPA SAJERONING PROJO” (Bertapa Dalam Hiruk Pikuk Kekuasaan). Dengan gaji yang pas-pasan konsisten mengamalkan kode etik hidup Prajurit (Prasojo, Jujur dan Irit), tanpa mengeluh ataupun iri hati terhadap kawan sejawat lainnya yang kini hidupnya tiada hari tanpa berpesta dan terus sibuk berebut harta dengan menjual martabat sekalipun. Namun demikian, berkat soliditas dan tingginya legitimasi publik, niscaya dalam kondisi tertentu TNI akan mampu menjaga keutuhan NKRI.
Kwajiban Pembantu Presiden Untuk Menuntaskan Reformasi TNI & Polri. 
Adalah Presiden Terpilih Jenderal TNI (Purn) Prabowo Soebiyato yang dikala remajanya bersama orang tuanya sudah merasakan bagaimana pahitnya penderitaan sebagai korban dari kebijakan  politik negara. Sementara menjelang puncak karirnya di TNI, dirinya bukan hanya termarginalkan, tapi terhinakan akibat terjadi perubahan model tata kelola kekuasaan negara. Dalam kapasitas pribadinya yang sudah paham beyon kekuasaan negara, mustahil Presiden kita yang satu ini tidak bertekad kuat untuk menuntaskan Reformasi Nasional, tak terkecuali Reformasi TNI dan Polri yang telah dirintis pendahulunya, sekaligus niscaya akan mengakhiri tata nilai lama terlebih warisan kolonial.  
Secara singkat, reformasi internal ABRI 1998 intinya adalah (1) Hapus DWI FUNGSI ABRI, (2) TNI & Polri kembali kejatidiri masing-masing, TNI kembali pada “Core Bisnisnya” dibidang Pertahanan, sedang POLRI menjadi bagian dari “Law And Justice System”. POLRI untuk sementara dibawah Dephankam, namun pada saatnya akan bergeser dibawah Depdagri atau sesuai perkembangan peradaban bangsa, langsung dibawah Depkum & Kehakiman. (3) Perubahan Paham Keamanan sebagaimana yang berlaku dalam negara demokrasi secara universal, dimana Keamanan diposisikan sebagai “Output Sistem Sipil”. Dan karenanya kalau terjadi masalah keamanan haruslah diatasi dulu oleh Aparatur Sipil dan dengan cara-cara sipil, namun manakala Aparatur Sipil termasuk POLRI telah gagal atau bakal gagal dan atau dipastikan akan jatuh korban, maka saat itu pula masalah keamanan beralih menjadi tugas TNI, dan ditangani dengan azas Supremasi Militer. (4) Kebijakan Mempensiunkan Karyawan ABRI. (5) Penataan Ulang Kekuatan dan Kemampuan, sekaligus Gelar TNI dan Polri.
Belajar dari pengalaman masa lalu sebagaimana dijelaskan diatas, kedepan para Pembantu Presiden yang menangani bidang Keamanan Nasional, semestinya tidak akan pernah bersetuju terhadap gagasan penempatan Personil TNI melalui UU kembali  bisa menduduki Jabatan di Pemerintahan Sipil, tanpa harus pensiun. Dan lebih buruk lagi kalau motifnya aspek kesejahteraan yang notabene hanya bisa dinikmati untuk sejumlah kecil Petinggi TNI saja. Adalah kwajiban negara untuk mengimbangi jaminan hidup dan hari tua yang memadai bagi segenap prajurit TNI secara keseluruhan, bukan hanya para Perwira Tinggi nya saja. Kehadiran Jenderal TNI (Purn) Prabowo Soebiyanto sebagai Presiden Terpilih niscaya hal begitu mendasar dalam kehidupan setiap manusia akan mudah untuk diwujudkan. 
Adapun program aksi dari Reformasi TNI dan Polri yang perlu segera dilanjutkan adalah penataan ulang kemampuan sejalan dengan kemajuan pemerintahan dalam menggelar fasilitas layanan public. Sedang khusus untuk program penataan gelar TNI, diutamakan untuk Redislokasi Pasukan yang sejak jaman Belanda terpusat di pulau Jawa disebar secara merata keseluruh wilayah, utamanya untuk Pusat-Pusat Kesenjataan dan atau Pusat Pendidikan TNI. Program redislokasi TNI tersebut, dapat dilakukan tanpa membebani APBN yaitu dengan model tukar guling atas jaminan Pemerintah. Disamping dampaknya akan menumbuhkan  sentra-sentra ekonomi baru sekaligus akan lahir kekuatan deterent untuk menghilangkan keinginan daerah tertentu memisahkan diri dari NKRI.  
Hal yang sama juga untuk POLRI, kedepan tidak sepatutnya penyimpangan reformasi POLRI terus dibiarkan. Bagaimana mungkin POLRI ditugasi untuk menangani masalah keamanan diluar masalah KAMTIBMAS, termasuk untuk menghadapi kekuatan takyat bersenjata. Sementara selama Orba saja soal keamanan yang menjadi porsi POLRI hanya dibidang KAMTIBMAS. Hal yang sejenis juga soal penugasan Anggota Polri ke Kementerian dan Lembaga Pemerintahan lainnya, bukankah kebijakan tersebut hanya baik untuk segelintir Petinggi Polri tapi berdampak sangat buruk dalam pembinaan karir diinternal Lembaga masing-masing. 
Lebih dari itu, sungguh tidak etis kalau Para Pembantu Presiden yang membidangi masalah keamanan terlebih Pimpinan Polri malah hanyut dan larut terhadap gagasan yang tertuang dalam RUU Polri yang isinya secara substansial hendak menghidupkan kembali UU Subversif, perluasan wilayah teritori tugas POLRI sehingga berpotensi terjadi tumpang tindih dengan kewenangan yang SAH Lembaga lain karena telah diatur dalam UU terkait, dan juga kewenangan POLRI untuk menangani Fungsi Intelijen terhadap Hakikat Ancaman Luar Negeri. Dan bukankah kepedulian elit bangsa yang manapun terhadap pengaturan masalah keamanan dengan mudahnya bisa diatasi melalui kehadiran UU Keamanan Nasional.

*Penulis adalah Wakil Ketua Tim Perumus Konsep Reformasi Internal ABRI.