MAKI dan DPR Kompak Desak Pidana Eks Kajari Jakbar: Soroti Beda Standar Bukti dan Sikap

Administrator - Senin, 13 Oktober 2025 - 11:50:00 wib
MAKI dan DPR Kompak Desak Pidana Eks Kajari Jakbar: Soroti Beda Standar Bukti dan Sikap
Hendri Antoro, mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Barat (Jakbar)./foto: listimewa)

Radarriau net | Jakarta – Tekanan terhadap Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk memproses pidana mantan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat (Kajari Jakbar), Hendri Antoro, semakin menguat menyusul sanksi pencopotan jabatan yang telah diterimanya. Desakan kali ini menyoroti dugaan penerimaan dana sebesar Rp500 juta dari hasil penggelapan barang bukti kasus investasi bodong robot trading Fahrenheit dan menuntut Kejagung bersikap lebih tegas.

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berpendapat sanksi internal tidak cukup, terutama jika terdapat indikasi kuat tindak pidana.

Etik Bukan Batas Akhir: Pintu Masuk Penyelidikan Pidana

Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mendesak agar Kejagung tidak berhenti pada sanksi etik. Menurutnya, temuan dalam proses pemeriksaan etik seharusnya menjadi "pintu masuk" untuk menyelidiki unsur pidana.

Boyamin secara khusus menyoroti perbedaan standar pembuktian antara proses etik dan pidana. "Karena kadang-kadang etik itu belum ada bukti secara hukum. Masalahnya kadang-kadang ada di situ," ujar Boyamin Saiman kepada wartawan, Jumat (10/10/2025).

Ia menegaskan, jika alat bukti untuk pidana sudah memadai, Kejaksaan harus segera menjalankan proses hukum. Boyamin meminta Kejagung untuk pro-aktif dan berani dalam menindak oknumnya.

Kritik Keras DPR: Jangan Beri Perlindungan

Desakan yang lebih keras datang dari parlemen. Rudianto Lallo, Anggota Komisi III DPR RI, secara lugas menilai sanksi pemberhentian Hendri Antoro dari jabatan karena kelalaian pengawasan terhadap bawahannya, Jaksa Azam Akhmad Akhsya, tidak cukup.

Politikus Partai NasDem ini menekankan bahwa Kejagung tidak boleh terkesan memberikan perlindungan kepada oknum penegak hukumnya sendiri.

"Kalau memang dari proses pemeriksaan ada kuat dugaan melakukan tindak pidana, menerima aliran dana dan sebagainya, dia pertanggungjawabkan di proses hukum," tegas Lallo.

Lallo memperingatkan bahwa sikap "setengah hati" dari institusi penegak hukum hanya akan merusak kredibilitas dan maruah Kejagung di mata publik. Ia mendesak agar pemeriksaan terhadap Hendri diperluas untuk memastikan keterlibatannya dalam aliran dana, tidak sekadar pencopotan jabatan.

Sikap Defensif Kejagung: Sanksi Terberat Sudah Diberikan

Disisi lain, Kejaksaan Agung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Anang Supriatna berpegang pada sanksi yang telah dijatuhkan. Anang menegaskan bahwa sanksi pencopotan jabatan yang diberikan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin merupakan sanksi paling berat dalam lingkup internal.

Pencopotan Hendri didasari pada kelalaiannya dalam menjalankan fungsi pengawasan melekat sebagai pimpinan, yang menjadi akar masalah penggelapan oleh Jaksa Azam.

Terkait desakan pemrosesan pidana terhadap Hendri, Anang belum memberikan kepastian. Ia menekankan bahwa peran aktif dalam kasus penggelapan tersebut, termasuk yang paling banyak menikmati hasil, masih dibebankan kepada Jaksa Azam Akhmad Akhsya, yang kini telah divonis 9 tahun penjara.

"Kalau pidananya kan sudah jelas Azam, yang aktif itu kan Azam. Sudah jelas di bukti persidangan dia yang inisiatif aktif, dia yang berhubungan dengan penasihat hukum, terus dia yang paling banyak menikmati ke mana-mana itu. Sementara pihak-pihak lain kan tidak tahu," jelas Anang.

Posisi Hendri Antoro saat ini telah digantikan oleh Pelaksana Tugas, Aspidsus Kejati DKI, Haryoko Ari Prabowo, menandai upaya Kejagung untuk menegakkan disiplin, meski masih dipertanyakan oleh publik apakah itu sudah tuntas secara hukum. 

(red)