Polemik Gas: Ketika Ego Kementerian Menghambat Arah Energi Nasional

Administrator - Sabtu, 11 Oktober 2025 - 08:02:30 wib
Polemik Gas: Ketika Ego Kementerian Menghambat Arah Energi Nasional
Ilustrasi (ai)

Radarriau net | Jakarta - Polemik antara Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, soal kebijakan gas nasional kembali menyingkap wajah asli problem koordinasi dalam tubuh kabinet. Perdebatan terbuka antara dua kementerian strategis itu bukan sekadar soal angka atau formula harga gas industri, melainkan cerminan dari belum sinkronnya arah kebijakan energi dan fiskal pemerintah. Disaat rakyat dan pelaku industri menanti kepastian, yang muncul justru silang pendapat yang menimbulkan ketidakpastian baru.

Kebijakan harga gas selama ini memang menjadi isu sensitif. Di satu sisi, Kementerian ESDM berupaya menjaga agar harga gas tetap terjangkau bagi industri dalam negeri, dengan alasan mendukung daya saing nasional dan menciptakan lapangan kerja. Di sisi lain, Kementerian Keuangan melihat perlunya disiplin fiskal dan optimalisasi penerimaan negara dari sumber daya alam, termasuk gas bumi. Ketegangan inilah yang kini mengemuka, terutama setelah Bahlil secara terbuka menyebut ada hambatan dari pihak Kementerian Keuangan terhadap kebijakan gas yang pro industri.

Masalah ini seolah menjadi pengulangan dari konflik klasik antar-kementerian: tarik-menarik kepentingan antara ekonomi riil dan pengelolaan fiskal. Padahal, di tengah tekanan global dan upaya menjaga pertumbuhan ekonomi, Indonesia membutuhkan stabilitas kebijakan yang bisa menjamin ketersediaan energi dengan harga kompetitif tanpa mengorbankan pendapatan negara. Ketika dua menteri saling menyalahkan di ruang publik, yang terguncang bukan hanya wibawa kabinet, tetapi juga kepercayaan dunia usaha.

Publik tentu berhak bertanya: mengapa koordinasi lintas kementerian seolah begitu sulit? Padahal, Presiden telah menekankan pentingnya sinergi dan kesatuan arah dalam kebijakan ekonomi. Ketidakharmonisan antara Kemenkeu dan Kementerian ESDM bukan hanya menghambat penyelesaian isu harga gas, tetapi juga berpotensi menunda investasi sektor energi yang sangat dibutuhkan untuk menopang pertumbuhan jangka panjang.

Gas sejatinya bukan sekadar komoditas, melainkan instrumen strategis untuk mendorong industrialisasi dan ketahanan energi nasional. Harga gas yang terlalu tinggi akan menekan industri baja, petrokimia, pupuk, hingga keramik—sektor-sektor yang menjadi tulang punggung manufaktur nasional. Namun, di sisi lain, subsidi atau penetapan harga terlalu rendah tanpa perhitungan matang akan membebani APBN dan menurunkan penerimaan negara. Di sinilah diperlukan keseimbangan, bukan ego sektoral.

Kisruh ini juga mencerminkan lemahnya mekanisme koordinasi kebijakan energi secara lintas lembaga. Alih-alih duduk bersama mencari solusi teknokratis, perbedaan pandangan malah dipertontonkan di ruang publik. Akibatnya, investor dalam dan luar negeri menjadi ragu terhadap konsistensi arah kebijakan energi Indonesia. Sentimen semacam ini berbahaya, karena bisa menunda investasi bernilai miliaran dolar di sektor gas dan petrokimia yang sedang tumbuh.

Dalam konteks yang lebih luas, polemik ini menandai bahwa transisi energi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Di satu sisi, pemerintah ingin memperluas penggunaan gas bumi sebagai energi bersih dan transisi dari batubara. Namun di sisi lain, kebijakan harga yang tidak sinkron antara fiskal dan energi justru menghambat realisasi agenda tersebut. Indonesia butuh kebijakan gas yang terintegrasi, berbasis data, dan berorientasi jangka panjang, bukan keputusan yang didorong oleh tekanan politik atau kepentingan sektoral sesaat.

Kementerian Keuangan tentu punya alasan kuat mempertahankan kehati-hatian fiskal. Namun, kehati-hatian itu tak boleh berubah menjadi penghambat pertumbuhan sektor riil. Begitu pula Kementerian ESDM dan Menteri Bahlil harus menyadari bahwa keberpihakan pada industri tak bisa mengabaikan realitas keterbatasan fiskal negara. Kedua pendekatan itu seharusnya bisa bertemu di tengah: di ruang koordinasi yang dewasa dan berorientasi pada kepentingan nasional.

Presiden dan kabinet ekonomi perlu turun tangan memastikan bahwa perbedaan pandangan semacam ini tak lagi mencuat di publik. Negara butuh tim ekonomi yang solid, bukan yang saling mengoreksi di media. Ketegangan ini harus diselesaikan secara elegan melalui forum kabinet, dengan melibatkan lembaga perencana seperti Bappenas agar kebijakan energi dan fiskal berjalan beriringan dalam kerangka pembangunan jangka panjang.

Pada akhirnya, rakyat tidak butuh drama antarmenteri. Yang mereka butuhkan adalah harga gas yang wajar, industri yang tetap berproduksi, dan lapangan kerja yang terus tumbuh. Semua itu hanya mungkin tercapai jika kebijakan energi nasional dikelola dengan koordinasi kuat, komunikasi terbuka, dan satu arah kebijakan yang berpihak pada kepentingan bangsa, bukan pada ego sektoral.

Gas seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi Indonesia—bukan sumber gesekan politik di antara pejabat negara. Pemerintah mesti membuktikan bahwa setiap perbedaan dapat diselesaikan melalui dialog dan data, bukan debat di media. Sebab, energi adalah urat nadi ekonomi, dan pengelolaannya menuntut kebijakan yang matang, terpadu, dan berorientasi jangka panjang. Jika koordinasi kabinet terus rapuh, bukan hanya gas yang bocor, tetapi juga kepercayaan publik terhadap soliditas pemerintah.