Makan Gratis, Janji Besar di Meja Anggaran

Administrator - Sabtu, 11 Oktober 2025 - 08:01:29 wib
Makan Gratis, Janji Besar di Meja Anggaran
Ilustrasi Makan Gratis, Anggaran Besar

Oleh: Nargo
Radarriau net | Program Makan Gratis (MBG) yang kini menjadi salah satu ikon kebijakan sosial pemerintahan Prabowo-Gibran adalah ide besar yang menuntut eksekusi luar biasa. Gagasannya tampak sederhana: memastikan setiap anak sekolah memperoleh asupan gizi cukup agar bisa belajar dengan optimal. Namun di balik visi mulia itu, terbentang tantangan besar menyangkut tata kelola, efisiensi fiskal, dan integritas birokrasi.

Secara moral, MBG sulit untuk ditolak. Di negeri yang masih menyimpan angka stunting tinggi dan ketimpangan ekonomi melebar, jaminan makan bergizi bagi anak-anak sekolah merupakan langkah berani dan humanis. Negara akhirnya turun tangan secara langsung ke dapur rakyat miskin — sesuatu yang jarang dilakukan dalam politik ekonomi modern. Tapi sebagaimana semua kebijakan populis, niat baik mudah sekali tergelincir menjadi proyek pencitraan bila tidak ditopang dengan tata kelola yang matang.

Dari segi gagasan, MBG berangkat dari prinsip pemerataan gizi untuk pembangunan sumber daya manusia. Pemerintah menargetkan anak-anak usia sekolah dasar dan menengah sebagai penerima manfaat utama. Setiap porsi yang disediakan diharapkan mengandung nilai gizi seimbang dan melibatkan penyedia lokal agar ekonomi daerah ikut bergerak. Secara teoritis, model ini memang ideal: gizi anak terpenuhi, petani terserap, UMKM kuliner tumbuh, dan pasar lokal berputar.

Namun, teori jarang berjalan semulus kenyataan. Uji coba di beberapa daerah memperlihatkan betapa sulitnya menerapkan program sebesar ini tanpa kesiapan teknis yang memadai. Banyak sekolah tidak memiliki dapur layak. Fasilitas sanitasi minim. Mekanisme distribusi makanan mentah rawan penyelewengan. Bahkan, di sejumlah wilayah, standar menu bergizi tak lebih dari sekadar nasi, telur, dan sayur seadanya — jauh dari konsep gizi seimbang yang digembar-gemborkan.

Persoalan berikutnya ada di sisi fiskal. Pemerintah mematok anggaran triliunan rupiah untuk program ini. Dalam kondisi APBN yang masih menanggung beban subsidi dan defisit fiskal yang ketat, pembiayaan MBG bisa menjadi beban baru bila tidak dikelola dengan efisien. Ekonom memperingatkan bahwa tanpa mekanisme pengawasan ketat, MBG berpotensi menjadi “lubang anggaran paling besar yang disamarkan dengan niat baik.”

Lebih jauh lagi, koordinasi antar kementerian juga menjadi batu sandungan. Program ini melibatkan setidaknya lima lembaga besar: Kementerian Pendidikan, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, serta pemerintah daerah. Ketika semua merasa berwenang, tapi tak satu pun merasa bertanggung jawab penuh, hasilnya adalah tumpang tindih kebijakan dan birokrasi yang gemuk. Dalam kondisi seperti itu, yang paling sering dikorbankan justru anak-anak penerima manfaat.

Pemerintah boleh bangga dengan jargon “makan gratis untuk anak Indonesia”, tetapi publik berhak menuntut transparansi. Siapa penyedia bahan baku? Bagaimana proses pengadaannya? Berapa biaya per porsi? Siapa yang mengawasi kualitas gizi dan keamanan pangan? Tanpa keterbukaan data, MBG hanya akan menjadi ladang baru bagi rente dan kolusi di tingkat daerah.

Kita perlu belajar dari pengalaman banyak negara lain. Di Brasil, India, dan Korea Selatan, program makan gratis berjalan baik karena pengawasan publik sangat kuat. Masyarakat ikut mengontrol kualitas makanan, sekolah memiliki otonomi menentukan menu sesuai potensi lokal, dan laporan keuangan terbuka di platform digital. Indonesia pun harus berani meniru model transparansi itu — bukan menutup data di balik jargon nasionalisme gizi.

Ada pula risiko politisasi yang tak kalah berbahaya. Dengan nilai anggaran raksasa dan distribusi yang melibatkan jutaan pelajar, MBG bisa menjadi alat populisme elektoral baru di masa depan. Bila setiap piring makan bergizi dijadikan simbol keberhasilan partai atau pejabat tertentu, maka tujuan mulia program ini akan terdegradasi menjadi alat propaganda kekuasaan. Program sosial semacam ini seharusnya menjadi warisan kebijakan negara, bukan proyek politik jangka pendek.

Padahal, potensi keberhasilan MBG sesungguhnya besar. Bila dijalankan dengan integritas, program ini dapat menjadi lompatan besar dalam pembangunan manusia. Anak-anak yang sehat dan bergizi baik akan tumbuh menjadi generasi produktif, yang pada akhirnya meningkatkan daya saing bangsa. Efek ekonominya juga berlapis: petani lokal berdaya, pedagang kecil hidup, dan siklus pangan dalam negeri menjadi lebih kokoh.

Kuncinya hanya satu: tata kelola yang bersih. Pemerintah harus membuka data penerima, mekanisme pengadaan, dan laporan audit keuangan secara publik. Lembaga pengawas seperti BPK dan KPK mesti diberi ruang besar untuk mengaudit secara real time. Bahkan, sekolah dan masyarakat harus diberdayakan menjadi bagian dari sistem kontrol sosial. Hanya dengan itu MBG bisa benar-benar menjadi kebijakan rakyat — bukan proyek elite.

Pada akhirnya, MBG adalah cermin dari keseriusan negara menghadirkan kesejahteraan yang nyata. Memberi makan anak sekolah bukan semata soal nasi dan lauk pauk, melainkan soal bagaimana negara menegakkan hak dasar warga untuk hidup sehat dan belajar dengan layak. Tetapi sebagaimana semua cita-cita besar, ia membutuhkan kedisiplinan dan integritas tinggi untuk menjadi kenyataan.

Jika pemerintah mampu menjadikan MBG sebagai program yang efisien, transparan, dan berkelanjutan, sejarah akan mencatatnya sebagai langkah monumental dalam pembangunan manusia Indonesia. Namun bila gagal, ia hanya akan dikenang sebagai janji besar yang kandas di meja anggaran — wangi di niat, basi di pelaksanaan.

Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik