Menimbang Keputusan Prabowo Mengizinkan Ekspatriat Memimpin BUMN

Administrator - Senin, 20 Oktober 2025 - 09:16:09 wib
Menimbang Keputusan Prabowo Mengizinkan Ekspatriat Memimpin BUMN
Ilustrasi

EDITORIAL 

Radarriau.net | Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk membuka pintu bagi warga negara asing (WNA) atau ekspatriat menduduki posisi pimpinan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah langkah strategis yang mengundang perdebatan mendalam. Di satu sisi, langkah ini mencerminkan ambisi besar untuk membawa BUMN Indonesia bersaing di kancah global dengan mengadopsi standar internasional. Di sisi lain, kebijakan ini memunculkan pertanyaan fundamental mengenai kedaulatan ekonomi, loyalitas, dan peluang bagi putra-putri terbaik bangsa.

Presiden Prabowo, dalam dialognya dengan Steve Forbes, secara lugas menyatakan telah mengubah regulasi agar "ekspatriat, non-Indonesia, bisa memimpin BUMN kita." Visi di balik perubahan ini jelas: BUMN, yang kini dikelola oleh Badan Pengelola Investasi Danantara Indonesia, harus dijalankan dengan profesionalisme tertinggi, setara dengan korporasi kelas dunia. Dengan aset yang begitu besar, seperti yang sering disampaikan Prabowo, BUMN memang harus menjadi mesin penggerak ekonomi nasional, bukan sekadar beban negara. Untuk mencapai lompatan kualitatif ini, menarik "otak-otak terbaik, talenta-talenta terbaik" dari berbagai negara dianggap sebagai jalan pintas yang logis dan efisien.

Dukungan terhadap kebijakan ini datang dari Danantara sendiri. CIO Pandu Sjahrir memastikan bahwa prioritas utama tetap pada talenta domestik—WNI dan diaspora—sebelum mempertimbangkan ekspatriat sebagai opsi terakhir. Pernyataan ini bertujuan meredam kekhawatiran bahwa posisi strategis akan diserahkan begitu saja kepada orang asing. Perekrutan dua WNA di Garuda Indonesia, Neil Raymond Nills dan Balagopal Kunduvara, sering dijadikan contoh nyata dari kebutuhan akan keahlian spesifik, terutama di sektor yang sangat terstandardisasi secara global seperti penerbangan dan keuangan.

Namun, kekhawatiran publik dan kritik dari kalangan akademisi tidak boleh diabaikan. Dinding hukum pertama yang disorot oleh Syafruddin Karimi dari Universitas Andalas adalah Undang-Undang BUMN terbaru yang masih mensyaratkan direksi dan komisaris berstatus WNI. Meskipun ada celah hukum yang diakui oleh pengamat seperti Toto Pranoto, yakni Pasal 15A ayat (3) yang memerlukan aturan turunan dari BP BUMN, polemik ini menunjukkan adanya ketegangan antara ambisi reformasi yang cepat dan kepastian hukum. Jika semangat UU adalah untuk mengutamakan WNI, maka aturan turunan harus sangat jelas dan ketat dalam mendefinisikan kriteria "kebutuhan mendesak" untuk merekrut ekspatriat.

Lebih dari sekadar persoalan legalitas, kritik ini menyentuh inti dari masalah BUMN. Syafruddin Karimi dengan tepat menyatakan bahwa merekrut WNA bukanlah "obat mujarab." Akar masalah BUMN terletak pada tata kelola yang lemah, mandat ganda—antara komersial dan pelayanan publik—yang tumpang tindih, serta kedisiplinan pemilik yang belum konsisten. Mengganti pemimpin dengan ekspatriat berstandar internasional akan sia-sia jika struktur tata kelola dan budaya birokrasi yang membelenggu BUMN tidak dirombak total. Eksekutif asing, bahkan yang paling brilian sekalipun, akan sulit bertahan jika dihadapkan pada intervensi politik, praktik-praktik yang tidak efisien, dan budaya korporasi yang sarat kepentingan.

Kebijakan ini harus dilihat sebagai sebuah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia adalah katalis untuk meningkatkan profesionalisme dan kinerja BUMN. Ekspatriat dengan rekam jejak terbukti dapat membawa transfer pengetahuan (knowledge transfer) dan budaya kerja global yang sangat dibutuhkan untuk mengubah BUMN yang selama ini dianggap sebagai "sapi perah" atau tempat penampungan politisi. Di sisi lain, menempatkan orang asing di posisi yang mengelola aset triliunan milik negara, terutama di sektor-sektor yang sangat sensitif dan strategis, memerlukan pengawasan ekstra ketat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mengingatkan bahwa WNA yang menjadi direksi BUMN wajib melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), sebuah konsekuensi yang harus dipastikan benar-benar dipatuhi.

Kesimpulannya, reformasi BUMN yang diinisiasi oleh Presiden Prabowo merupakan langkah berani. Namun, keberhasilannya tidak terletak pada sekadar pergantian paspor di kursi direksi. Kuncinya adalah pada pembenahan fundamental: Pertama, segera selesaikan landasan hukum dengan menerbitkan aturan turunan yang sangat spesifik dan membatasi, menjadikan WNA sebagai pengecualian yang terukur. Kedua, fokus utama harus dialihkan dari mencari pemimpin asing ke perbaikan tata kelola (governance) dan menghilangkan mandat ganda yang merusak kinerja komersial. Ketiga, jadikan program ini sebagai "jembatan" untuk mempercepat transfer keahlian kepada talenta WNI.

Tanpa perbaikan struktural yang menyeluruh, ekspatriat terbaik di dunia pun akan kesulitan menciptakan keajaiban di tengah karut-marut birokrasi dan kepentingan. Tujuan utama BUMN adalah melayani kepentingan nasional, dan talenta terbaik bangsa harus tetap menjadi garda terdepan. WNA hanya boleh menjadi amunisi tambahan yang sangat terkontrol untuk mencapai tujuan strategis global, bukan pengganti permanen bagi pemimpin nasional. []