Pekanbaru (RRN) - Kasus dugaan korupsi dalam pembayaran hutang eskalasi harga (hasil penghitungan penyesuaian harga, red) oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau ke 8 perusahaan kontraktor sebesar Rp222.895.826.691 pada APBD Perubahan tahun 2015 lalu, makin memanas.
Atas pembayaran hutang 9 proyek multi years yang diduga tak sesuai prosedur yakni tanpa pembahasan di Badan Anggaran (Banggar), puluhan anggota DPRD Riau mulai mengumpulkan tanda tangan mereka untuk menggunakan Hak Angket dalam memanggil Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau.
"Bukan belasan lagi yang ikut dalam Hak Angket tersebut, tapi puluhan orang. Sudah Kuorum karena dalam Tatib (Tata Terbit, red), sedikitnya 10 orang anggota," kata Anggota DPRD Riau H Muhammad Adil pada awak media, Rabu (23/03/16) kemarin.
Dijelaskannya, kasus ini sebenarnya kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor, red) yang besar. Lantaran ada dugaan penyalahgunaan wewenang dan yang menguntungkan orang lain.
"Ini sudah jelas tipikor. Hutang itu memang akan dibayar. Namun, ada perbedaan jumlah. Dimana versi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebesar Rp220 milyar, sedangkan versi Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebesar Rp320 milyar. Jadi, tak kita anggarkan. Kita tunggu sampai cocok dan ada dasar hukum-nya. Kok tiba-tiba masuk ke Kemendagri dan dibayar tanpa dibahas," jelas Adil.
Bahkan, melalui salah satu media harian, Selasa (22/03/16) kemarin, Adil mengaku mendapat kabar ada fee (komisi, red) sebesar 2 persen yang diberikan kepada oknum-oknum yang turut serta terlibat dalam skenario untuk meloloskan duit itu.
"Tunggu dan ikuti perkembangannya. Yang terlibat, siap-siap saja. Aparat hukum harus mengusutnya," pintanya kepada awak media.
Temuan mencurigakan ini juga disampaikan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau. Dikatakan, berdasarkan PP Nomor 70, pembayaran hutang tak boleh melebihi 10 persen dari nilai proyek.
Untuk diketahui, basus ini berawal atas adanya permohonan dari 8 perusahaan melalui BANI terkait eskalasi ini adanya selisih perhitungan harga terkait 9 proyek multi years yang dikerjakan.
Akhirnya, melalui putusan No. 352/V/ ARB-BANI/2010 yang dibacakan pada hari Senin tanggal 27 Desember 2010, BANI meminta Pemprov Riau membayarkan hutang eskalasi itu kepada rekanan. Dalam putusan itu, perusahaan rekanan beralasan, eskalasi harga, harusnya berpedoman kepada Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 Pasal 9 Ayat 1. Dimana, perhitungan eskalasi harga dimulai sejak bulan Desember 2004, yaitu sejak bulan pertama pekerjaan.
Sementara, Pemprov Riau meyakini, berdasarkan Pasal 9 ayat 4 dari kontrak, yang berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 105/ PMK.06/2005 tanggal 9 November 2005 tentang Penyesuaian Harga Satuan dan Nilai Kontrak Kegiatan Pemerintah Tahun Anggaran 2005, eskalasi harga dimulai sejak bulan Oktober 2005 sesuai dengan lahirnya kebijakan moneter terhadap kenaikan bahan bakar minyak (BBM).
Akhirnya, Mahkamah Agung (MA) pun menguatkan putusan BANI tersebut. Melalui putusan Nomor 709 K/Pdt.Sus/2011. Hakim Mahkamah Agung yang diketuai H Muhammad Taufik, SH, MH, menolak keberatan pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau yang diwakili oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum atas putusan banding sebelumnya yang menguatkan putusan BANI.
Putusan itu, mewajibkan Pemprov Riau untuk membayar eskalasi harga pada APBD Perubahan 2015 kepada 8 perusahaan rekanan dengan jumlah total sebesar Rp322.395.826.691.
Rinciannya, untuk PT Pembangunan Perumahan (PP) (Persero) Tbk sebesar Rp113.841.020.412, PT Adhi Karya (Persero) Tbk sebesar Rp41.215.592.443, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk sebesar Rp31.504.906.623, PT Hutama Karya (Persero) Tbk yang berkerjasama dengan PT Duta Graha Indah sebesar Rp49.853.904.365, PT Waskita Karya (Persero) sebesar Rp20.459.969.777, PT Istaka Karya (Persero) sebesar Rp29.580.157.994, PT Modern Widya Technical yang juga bekerjasama dengan PT Anisa Putri Ragil sebesar Rp11.520.971.085 dan PT Harap Panjang sebesar Rp24.419.304.658.
Dalam perjalanannya, BPKP sendiri justru menyatakan total hutang eskalasi yang harus dibayar sebesar Rp220 Milyar. Perbedaan angka antara BPKP dan BANI yang dikuatkan MA inilah yang membuat DPRD Riau sengaja tak menganggarkan pembayaran hutang itu di APBD Perubahan tahun 2015 lalu.
Namun belakangan baru ketahui dan ternyata telah dibayarkan oleh Pemprov Riau dengan alasan adanya rekomendasi dari DPRD dalam pengusulan itu.
Usut punya usut, ternyata, Banggar DPRD Riau sendiri waktu itu mengaku tak pernah membahas. Diduga keras, dokumen pengusulan itu disisipkan oleh oknum pimpinan. Hingga berita ini terbit, pihak terkait belum berhasil di temui.
Dan begitu juga pihak kejaksaan, Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Hubungan Masyarakat (Kasi Penkum Humas) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, yang dikonfirmasi oleh awak media, belum mau berkomentar.
brc/ rrn