Gugatan Marina Tama: Warga Desak Kantor Presiden dan Kemenhan Turun Tangan, Hentikan Ancaman Pengosongan Ilegal

Administrator - Kamis, 20 November 2025 - 11:04:17 wib
Gugatan Marina Tama: Warga Desak Kantor Presiden dan Kemenhan Turun Tangan, Hentikan Ancaman Pengosongan Ilegal
Warga, melalui kuasa hukum mereka, telah menyurati berbagai lembaga tinggi negara sejak awal, termasuk Inkopal, Kantor Presiden, Kemenhan, hingga Mabes TNI AL, sebagai bentuk upaya non-litigasi untuk mencari perlindungan dan penyelesaian yang damai.foto:i

Radarriaunet | Jakarta  – Kasus sengketa lahan Ruko Marina Tama (Marinatama) Mangga Dua, Jakarta Utara, telah melampaui batas konflik lokal dan kini menjadi sorotan nasional. Dalam persidangan keenam di PTUN Jakarta Timur, Rabu (19/11/2025), desakan diarahkan ke tingkat pemerintah pusat, yaitu kepada Kantor Presiden dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan), untuk segera mengambil tindakan preventif dan memastikan proses hukum yang adil.

Warga, melalui kuasa hukum mereka, telah menyurati berbagai lembaga tinggi negara sejak awal, termasuk Inkopal, Kantor Presiden, Kemenhan, hingga Mabes TNI AL, sebagai bentuk upaya non-litigasi untuk mencari perlindungan dan penyelesaian yang damai.

Ancaman Pengosongan Tanpa Eksekusi Pengadilan

Isu paling mendesak yang disoroti oleh kuasa hukum warga, Subali, S.H., adalah ancaman pengosongan ruko yang dikirimkan oleh pengelola menjelang akhir masa sewa pada 31 Desember 2025.

"Pengosongan tanpa adanya eksekusi pengadilan itu tidak sah. Kami meminta agar pemerintah pusat, khususnya Kemenhan, tidak membiarkan tindakan sepihak ini terjadi saat proses hukum di PTUN sedang berjalan," tegas Subali.

Warga menggugat keabsahan Sertifikat Hak Pakai (HP) Nomor 477/2000 atas nama Kemenhan yang terbit tahun 2000, yang mereka nilai janggal karena ruko telah diperjualbelikan kepada masyarakat sejak 1997. Gugatan ini harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum adanya tindakan administrasi atau fisik di lapangan.

Tuntutan Perlindungan dari Pemerintah Pusat

Perwakilan warga yang identitasnya dirahasiakan menceritakan bagaimana mereka merasa ditinggalkan oleh negara setelah membayar lunas properti namun dijebak dalam skema sewa-menyewa dan pungutan yang dinilai tidak wajar.

"Kami sudah membayar penuh sejak awal sebagai pembelian. Kami baru tahu belakangan bahwa sertifikat yang kami gugat adalah Sertifikat Hak Pakai negara di atas bangunan komersial kami. Kami berharap negara hadir," ujar warga tersebut, menyiratkan bahwa intervensi dari level tertinggi pemerintahan sangat dibutuhkan untuk menghentikan ketidakpastian ini.

Warga secara eksplisit meminta Kemenhan untuk tidak hanya berdiam diri sebagai Tergugat II Intervensi, tetapi menggunakan otoritasnya untuk menjadi penengah dan memastikan Inkopal, sebagai pengelola yang berafiliasi, menghormati proses hukum.

Kejanggalan Hukum dan Administrasi Tanah

Subali juga menyoroti kejanggalan administrasi pertanahan yang seharusnya menjadi perhatian serius dari Kemenhan. Jika Inkopal hanya berfungsi sebagai pengelola, muncul pertanyaan serius mengapa basis klaim tanahnya adalah Hak Pakai milik Kemenhan, bukan Hak Pengelolaan (HPL) yang lebih sesuai untuk lembaga non-pemerintah yang mengelola aset negara untuk komersial.

"Secara aturan, tanah negara yang digunakan untuk kegiatan komersial memiliki konsekuensi hukum tertentu. Proses konversi tanah seharusnya mengarah pada HPL, bukan hak pakai," jelasnya, menuntut BPN untuk lebih transparan dan akuntabel.

Karena ketidakjelasan ini yang menjadi akar persoalan, warga meminta Kemenhan dan Kantor Presiden memastikan bahwa hak-hak sipil mereka terlindungi dan bahwa proses litigasi tidak diintervensi oleh ancaman pengosongan ilegal.

Persidangan akan dilanjutkan pada pekan depan dengan agenda pemeriksaan bukti, di mana warga berharap dapat menunjukkan bukti-bukti kuat yang membantah keabsahan sertifikat yang digugat

[Red]