Jakarta: Deputi Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Apung Widadi mendesak dilakukannya audit ulang opini wajar tanpa pengecualian (WTP) yang diterima oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Hal ini terkait terungkapnya kasus pemberian commitment fee kepada auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Lewat keterangan tertulis yang diterima, Apung, ada tiga alasan soal perlunya audit ulang. Menurut Apung, Kemendes PDTT sudah dua kali mendapatkan predikat wajar dengan pengecualian (WTP). Kementerian ini juga mempunyai dana desa yang besar tahun ini.
"Setidaknya, ada 3 alasan perlunya audit ulang. Pertama, dua kali berturut-turut Kemendes PDTT mendapat predikat WTP. Kedua, indikasi kuat kementerian baru tersebut buruk dalam tata kelola anggaran dan birokrasi, terutama terkait pengadaan dan belanja perjalanan dinas. Ketiga, kementerian desa menjadi contoh pemerintahan desa dengan dana desa Rp 40 triliun tahun ini," kata Apung, Selasa (30/5/2017).
Dia mengatakan, audit ulang harus dilakukan oleh auditor yang berintegritas. Selain itu audit dilakukan dengan berkolaborasi bersama pihak lain, misalnya akuntan publik atau penyelidik atau penyidik KPK yang berlatar belakang auditor.
Namun, menurutnya, sebelum audit dilakukan perlu ada pemeriksaan terhadap predikat WTP yang terindikasi beli tersebut. Hal ini untuk mengetahui bagaimana pengambilan keputusan tersebut bisa dapat diambil.
"Sebelum dilakukan audit perlu terlebih dahulu dieksaminasi publik laporan WTP yang terindikasi beli tersebut. Agar publik tahu, bagaimana metodologi, sampling hingga pengambilan kesimpulan. Sehingga terjawab kenapa kok bisa WTP, sampling mana yang tidak audit padahal bermasalah. Dan apakah tindaklanjut dari laporan WDP sebelumnya sudah ditindaklanjuti," paparnya.
Catatan FITRA, dari tahun 2014-2015 terdapat 11 temuan BPK, 36 rekomendasi, sementara 17 di antara rekomendasi hingga saat ini belum ditindaklannjuti. Ini membebani tata kelola dan menjadi catatan audit. Dari temuan-temuan di atas, indikasi korupsi kemungkinan cukup banyak karena tidak dapat ditindaklanjuti setelah audit.
Apung mencatat, ada beberapa sebab predikat WDP didapatkan Kemendes pada tahun 2015. Pertama ada utang sebesar Rp 378,46 miliar dari pihak ketiga yang bermasalah, dokumen tak tersedia. Kedua, Aset Barang Milik Negara (BMN) sebesar Rp 2,54 triliuun tidak didukung dengan rincian sehingga tidak dapat ditelusuri keberadaannya. Ketiga, akumulasi aset tanah, peralatan dan barang pengadaan senilai Rp 2,55 triliun tidak didukung rincian dan tidak diketahui keberadaannya. Terakhir, saldo persediaan barang senilai Rp 3,32 triliun tidak terinventarisir dengan baik, tidak terdapat bukti yang cukup.
jbr/fjp/dtc