Investigasi Anggaran: 'Ketok Palu' Banggar DPR Diduga Jadi Pintu Masuk Pengaturan Proyek dan Tender Formalitas

Administrator - Ahad, 26 Oktober 2025 - 15:43:57 wib
Investigasi Anggaran: 'Ketok Palu' Banggar DPR Diduga Jadi Pintu Masuk Pengaturan Proyek dan Tender Formalitas
Ilustrasi

Radarriaunet | Jakarta  - Isu panas mengenai dugaan praktik gelap dalam pembahasan anggaran negara di Badan Anggaran (Banggar) DPR RI kembali mencuat ke permukaan. Pernyataan kontroversial yang dikemukakan oleh seorang narasumber, Yusri, telah mengungkap serangkaian tudingan serius, termasuk istilah "gentong babi" yang diduga bernilai hingga ratusan triliun rupiah setiap tahun. Paparan ini menyoroti secara rinci bagaimana mekanisme pengesahan anggaran (disebut "ketok" palu) dan distribusi dana siluman ini disinyalir berjalan, serta bagaimana hal ini membentuk praktik di hilir, termasuk dalam proses tender proyek.

Perbedaan Penekanan Praktik: Sorotan pada Periode Lalu dan Tudingan Saat Ini

Untuk memahami konteks dan signifikansi isu ini, penting untuk menarik benang merah dan membandingkan fokus tudingan yang muncul pada periode kepemimpinan Banggar DPR RI sebelumnya dengan periode saat ini yang melibatkan Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah.

Pada tulisan yang menjadi dasar berita ini, penekanan utama terbagi menjadi beberapa aspek yang saling terkait:

  1. Gaya Hidup dan Simbol Kekuasaan Ketua Banggar: Tudingan dimulai dengan gambaran yang menyoroti gaya hidup dan kekuasaan Ketua Banggar DPR RI yang berasal dari Madura (merujuk pada Said Abdullah), yang konon naik private jet sambil merokok cerutu (sigar) tanpa ada yang berani memprotes. Aspek ini secara implisit menyoroti kedudukan, pengaruh, dan kesan impunitas yang melekat pada posisi tersebut saat ini.
  2. Mekanisme 'Gentong Babi' dan Distribusi Dana: Tuduhan inti berpusat pada dana siluman yang diistilahkan sebagai "Gentong Babi," yang nilainya disebut mencapai ratusan triliun rupiah per tahun. Uang ini, menurut dugaan, dikumpulkan untuk didistribusikan secara proporsional kepada semua fraksi di DPR RI, disetorkan ke partai politik (parpol) yang memiliki perwakilan di parlemen. Ini menunjukkan dugaan praktik korupsi sistematis yang melibatkan hampir seluruh kekuatan politik di parlemen.
  3. Kemunculan 'Markus' dan Pengaturan Proyek: Tuduhan diperkuat dengan adanya dugaan makelar kasus (markus) yang bermain dengan oknum di Banggar untuk mengatur skala prioritas proyek-proyek infrastruktur dan pengadaan barang/jasa di lintas kementerian, lembaga negara, TNI, Polri, Kejaksaan Agung, KPK, hingga proyek di pemerintah daerah (pemda) yang dananya bersumber dari APBN. Ini menunjukkan dugaan intervensi politik yang masif dan terstruktur dalam alokasi dana pembangunan.
  4. Formalitas Tender dan 'Pemilik' Proyek: Di hilir, Yusri membongkar bahwa setelah anggaran "diketok" dan diserahkan ke kementerian/lembaga, setiap proyek sebenarnya sudah ada pemiliknya. Proses tender hanya dianggap formalitas, dengan penambahan syarat-syarat tertentu untuk memenangkan 'jagoan' yang telah menggiring proyek tersebut sejak awal di hulu (Banggar). Ini menyiratkan dugaan pengkhianatan terhadap prinsip persaingan sehat dan transparansi tender.

Kontras dengan Penekanan Periode Banggar Sebelumnya:

Pada periode-periode Banggar sebelumnya, seperti yang sering diungkapkan dalam kasus-kasus atau pemberitaan masa lalu (misalnya, terkait beberapa kasus korupsi yang pernah terungkap di KPK), fokus sering kali lebih condong kepada:

  • Kasus Alokasi Khusus (DIPA/DAK): Penekanan sering kali tertuju pada praktik fee atau suap untuk "mengamankan" alokasi dana tertentu, terutama dalam Dana Penyesuaian, Dana Alokasi Khusus (DAK), atau Dana Insentif Daerah (DID) untuk daerah tertentu. Walaupun skalanya besar, fokusnya cenderung pada interaksi antara oknum Banggar dengan pemerintah daerah atau kementerian/lembaga tertentu yang membutuhkan alokasi dana.
  • Kasus Korupsi Perorangan/Kelompok Kecil: Penemuan kasus sering kali berujung pada penangkapan anggota atau pimpinan Banggar tertentu yang diduga menerima suap secara pribadi dari pihak yang berkepentingan dengan anggaran kementerian/lembaga. Mekanisme "gentong babi" yang melibatkan distribusi uang ke semua fraksi secara proporsional menjadi pembeda yang signifikan dan menunjukkan dugaan praktik yang jauh lebih terstruktur dan melibatkan seluruh kekuatan politik di parlemen.
  • "Ketok Palu" dan Uang Pelicin: Meskipun istilah "uang ketok palu" sudah lama dikenal, penekanan kali ini adalah pada nilai masif ratusan triliun rupiah yang diduga didistribusikan ke Parpol, bukan sekadar uang pelicin untuk seorang atau sekelompok anggota Banggar.

Perbedaan yang sangat mencolok dalam tulisan ini adalah penekanan pada skala praktik dan penyebaran manfaatnya. Tudingan "Gentong Babi" ratusan triliun rupiah yang didistribusikan ke seluruh fraksi dan Parpol menyiratkan dugaan korupsi yang bersifat kelembagaan (institutionalized) di DPR RI, bukan hanya penyimpangan oleh oknum atau kelompok kecil seperti yang sering kali menjadi fokus pemberitaan kasus korupsi anggaran di periode sebelumnya.

Isu ini menyerukan perhatian serius terhadap proses penganggaran di Indonesia, yang merupakan jantung dari pelaksanaan pembangunan nasional. Tuduhan ini, meskipun belum terverifikasi secara hukum, memperkuat tuntutan publik akan reformasi total dan transparansi dalam proses pembahasan APBN, mulai dari tahap usulan di kementerian/lembaga, pembahasan di Banggar DPR RI, hingga mekanisme tender proyek di hilir.

Hingga berita ini diturunkan, Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah dan Wakil Ketua Banggar Jazilul Fawaid, belum memberikan tanggapan atas konfirmasi yang disampaikan. Publik kini menanti klarifikasi dan langkah tegas dari pihak berwenang terkait dugaan praktik "gentong babi" yang disebut-sebut merugikan keuangan negara hingga ratusan triliun rupiah ini.

(Red)