RADARRIAUNET.COM - Freddy Budiman masih menggantung asa. Setegar apa pun dahulu, toh dia kini berharap bisa lolos dari hukuman mati lewat Peninjauan Kembali (PK), yang kemarin mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Cilacap, Jawa Tengah.
Di ruang sidang, berbalut pakaian Muslim dan berkopiah hitam, Freddy memang terlihat tenang. Sesekali tangannya mengusap peluh di dahi, juga mengelus jenggotnya. Pendek kata, pembawaan Freddy telah berubah.
Ini jadi kontras. Sebab, dahulu, ketika dia masih mengendalikan dan mengontrol jaringan narkoba, Freddy tampak dingin. Bengis. Kalau berbicara, dia selalu membusungkan dada, seolah-olah ingin mengabarkan bahwa dirinya tak bisa diremehkan.
Freddy, di hadapan majelis hakim, mengaku sudah tobat. Dia juga memohon ampun kepada negara, seperti tertulis dalam surat yang dia perlihatkan kepada majelis hakim. Freddy menulis itu di dalam sel di LP Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, 2 April 2016.
Freddy jeri. Dan, bila ada kesempatan, dirinya berjanji menjauhi narkoba sejauh-jauhnya. Tak lagi jadi bandar dan produsen. Jika ternyata dusta, Freddy siap didor mati.
"Saya akan berjuang menjadi manusia baru. Meninggalkan segala yang dilarang Allah dan demi melihat istri serta empat anak saya," kata Freddy dari kursi pesakitan.
Masa lalu Freddy memang kelam. Namanya sohor di dunia hitam, dengan spesialisasi kejahatan narkoba. Bukan sekali dua kali dia ditangkap, tapi apakah dia tobat? Tidak!
Freddy pertama kali diciduk pada Maret 2009 di Apartemen Taman Surya, Cengkareng, Jakarta Barat. Dari tangannya disita 500 gram sabu dan dia diganjar 3 tahun dan 4 bulan penjara.
Dua tahun ada di luar sel, dia terus berulah sampai akhirnya ditangkap lagi pada 27 April 2011. Ketika itu dia bahkan baru menyerah setelah ban dan kaca mobilnya ditembak. Polisi mendapati 300 gram heroin, 27 gram sabu, dan 450 gram bahan pembuat ekstasi dari dalam mobil Freddy. Freddy pun divonis sembilan tahun penjara.
Alih-alih kembali ke jalan yang benar, Freddy justru makin liar. Dia nekat mengorganisasi penyelundupan dan peredaran 1.412.475 pil ekstasi asal Tiongkok serta 400 ribu ekstasi produk Belanda, dari dalam LP Narkotika Cipinang.
Aksi jahat Freddy terbongkar berbarengan dengan kedatangan sebuah kontainer bernomor TGHU 0683898 pada 8 Mei 2012 di Pelabuhan JITC Tanjung Priok. Kontainer diangkut kapal YM Instruction Voyage 93 S yang angkat jangkar dari Pelabuhan Lianyungan, Shenzhen, Tiongkok, pada 28 April 2012.
Di antara tumpukan barang kontainer tersisip 12 kardus paket teh dari Tiongkok. Paket tak bertuan, tapi tertuju untuk Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI. Itu hanya samaran. Saat dibongkar paket ternyata berisi jutaan ekstasi. Delapan orang ditangkap, salah satunya tentara berinisial S.
Cukup lama ditelusuri, BNN akhirnya mendapati pengiriman paket ekstasi itu digerakkan tiga napi di LP Cipinang. Salah satunya, Freddy Budiman. Pada Juni 2013, Freddy ketahuan pula membangun pabrik ekstasi di dalam LP tersebut.
Hukuman berat akhirnya dijatuhkan kepada Freddy. Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis mati Freddy pada Senin 15 Juli 2013. Dia terbukti dan meyakinkan melanggar Pasal 114 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Freddy tak ciut. Dia bahkan sempat melempar senyum dan mengacungkan jempol ke arah Hakim Haswandi. Freddy saat itu masih yakin hukumannya bisa dikorting. Tapi, dia salah. Vonis tak berkurang barang sehari pun mulai dari tingkat banding hingga kasasi. Dia pun mengajukan PK.
Eksekusi Mati Mandek
Kengerian pelan-pelang mengampiri Freddy. Apalagi, Kejaksaan Agung mulai berani mengeksekusi sejumlah terpida mati kasus narkoba, seperti Freddy. Selama di tangan Jaksa Agung M. Prasetyo, Kejagung sudah dua kali menembak mati sejumlah terpidana narkoba.
Eksekusi pertama berlangsung Minggu dini hari 18 Januari 2015. Enam terpidana menemui ajal di hadapan regu tembak. Mereka masing-masing Marco Archer Cardoso Mareira, warga Brasil; Daniel Enemua (Nigeria); Ang Kim Soe (Belanda); Namaona Dennis (Malawi); Rani Andriani atau Melisa Aprilia (Indonesia); dan Tran Thi Hanh, warga Vietnam.
Cardoso, Enemua, Soe, Dennis, dan Rani dieksekusi di lapangan tembak Limusbuntu, Nusakambangan, Jawa Tengah. Sedangkan Hanh menjalani hukuman di Boyolali.
Empat bulan berselang, tepatnya 29 April 2015, delapan terpidana mati menyusul. Mereka adalah dua warga Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran; Raheem Agbaje Salami (Spanyol); Rodrigo Gularte (Brasil); Anderson dan Sylvester Obieke (Nigeria); serta Zainal Abidin, warga Indonesia.
Publik kini menanti eksekusi jilid III. Eksekusi sempat ramai akan dilakukan Mei 2016, tapi tak terjadi sampai kini. Ada 14 terpidana yang akan menjemput maut, namun Kejagung masih menyimpan rapat siapa mereka.
Prasetyo mengatakan, yang akan dieksekusi adalah mereka yang bobot kesalahannya paling berat. Dia mencontohkan Freddy. "Saya inginkan Freddy segera dieksekusi."
Toh, eksekusi tak juga terlaksana. Gara-garanya hampir semua terpidana menempuh upaya PK, seperti Freddy. Dia berharap Mahkamah Agung (MA) cepat bersikap. "Filternya di sana."
MA mengakui jelang eksekusi banyak terpidana mati menempuh upaya hukum untuk mengulur waktu. Tapi, juru bicara MA Suhadi tak ingat berapa jumlahnya. Yang pasti, tambah dia, sejatinya selepas kasasi eksekusi mati bisa dilaksanakan.
Lolos dari Vonis Mati
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji tak sepakat PK adalah jalan terpidana untuk menunda eksekusi. PK dan upaya hukum lain memang hak terpidana. Tapi, sangat jarang sekali PK atau upaya hukum lain bisa menggugurkan vonis mati.
Hanya, Indriyanto memberi catatan: MA pernah mengeluarkan putusan PK yang membatalkan hukuman mati menjadi seumur hidup pada Senin, 11 Februari 2008. Mereka yang beruntung adalah anggota Bali Nine: Tan Duc Thanh Nguyen, Si Yi Chen, dan Matthew James Norman.
Jadi, tambah dia, meski seperti mencari jarum ditumpukan jerami, para terpidana mati bolehlah berharap berkas dari PK. Jadi ini bukan semata-mata mengulur waktu eksekusi. Sebaliknya, peradilan harus mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Lebih-lebih pemerintah telah menetapkan narkotika sebagai kejahatan luar biasa.
"PK jangan sampai menimbulkan inkonsistensi putusan," ujar mantan Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK itu.
mtvn/radarriaunet.com