Apa kabar?
Aku hanya ingin tahu bagaimana kini kau mengemasi hidupmu. Masihkah disiplin bangun pagi dan membuat puisi?. Masihkah setia pada fajar yang dulu kau jadikan waktu sakral untuk belajar?
Aku ingin duduk di sampingmu, menceritakan semua hal tanpa jeda. Aku ingin kau juga menengok bagaimana aku menata hari-hariku. Aku terus bangun pagi, tapi tak lagi menulis puisi. Aku pikir apa gunanya, hanya akan melahirkan rindu saja. Fajar sudah lama aku abaikan. Aku pikir untuk apa, ia hanya akan melarikan ingatanku tentang segalamu.
Dan aku keliru. Bukan terjagaku dipagi hari yang melahirkan rindu atau puisi. Apa-apa yang aku sentuh, melarikan ingatanku padamu. Aku seingat itu akan semua hal tentangmu. Bahkan di saat ada yang lebih baik darimu, aku masih dengan perasaan yang sama.
Hari ini aku sempatkan mengunjungimu di rak. Seperti biasa, bau mu tidak berubah, tampilanmu juga masih begitu, membuat jatuh. Dari sudut tumpukan, aku melihatmu bersender, mengenakan baju biru berselimut tebal, agak ragu mendekati, tapi kaki ini menujumu, pesonamu juga masih selalu meluluhkan. Saat kudekati, kudapati dirimu sudah beranak pinak. Anak mu tampak lebih apik darimu pikirku, tapi kau tetap yang nomor satu, minimal di hatiku.
Aku coba sentuh kulitmu, halus. Ah, kau memang selalu begitu, pandai merawat tubuh. Sejak berpisah, hanya aku yang tak lagi mengurus diri. Bahkan hanya sekedar mengasih makan aleniaku. Mungkin dirimu pikir aku sudah melupakanmu. Sebab, aku tak pernah mengirim pesan apalagi memesan untuk bertemu. Bukan. Aku tidak mungkin lupa. Peta jalan menuju pematang sawah sudah aku titipkan padamu. Hanya padamu. Kelak jika aku rindu senja
yang di bawahnya merunduk padi-padi ranum, pasti aku mencarimu, untuk menghidupkan lagi puisi-puisi yang dulu pernah kita rangkai dengan mudah. Untuk
mengantarkan rona jingga beristirahat, demi memenuhi harap kita, agar esok kembali benderang. Juga untuk menyemai impian-impian yang dulu kita biarkan menjadi semak, lalu berhenti menyiramnya dengan puisi, setiap pagi.
Jangan bilangi dirimu itu sial karena kita sudah tidak sama. Akulah yang malas! Bahkan untuk sekedar bertahan. Di dunia ini, belum kutemukan tempat senyaman dekapan yang pernah kau sediakan, apalagi melebihimu. Jika tulisan ini sampai padamu, sudilah kau mendoakan jalanku, juga memaafkan keteledoranku!.