Mendobrak Ketimpangan

Administrator - Jumat, 21 Februari 2020 - 12:14:51 wib
Mendobrak Ketimpangan
Ilustrasi. Foto: Mi

RADARRIAUNET.COM: Ada hal yang sangat menarik dari yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) kepada publik melalui pers, Senin (17/2) lalu, yakni tentang indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia.

Pada 2019, angka IPM secara nasional memang naik, dari tahun sebelumnya sebesar 71,39 menjadi 71,92. Akan tetapi, bukan itu yang menjadikannya menarik, melainkan pada fakta disparitas IPM antardaerah yang belum beranjak dari tahun-tahun sebelumnya. Masih saja menganga.

Dalam skala provinsi, ada daerah yang mampu mencapai IPM sebesar 80,76 seperti DKI Jakarta. Akan tetapi, di seberang sana, Papua, hanya bisa mencatatkan IPM 60,84. Belum lagi kalau kita bicara skop kabupaten/kota, disparitasnya kian luar biasa. IPM di Kabupaten Nduga, misalnya, hanya 30,75. Padahal, di Kota Jayapura yang masih satu provinsi dengan Nduga, IPM-nya sebesar 80,16. Teramat timpang.

IPM, menurut BPS, erat kaitannya dengan kemampuan masyarakat atau penduduk mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Dengan kata lain, IPM ialah indikator penting untuk mengukur keberhasilan pemerintah dalam membangun kualitas hidup masyarakat.

Lalu apa artinya bila IPM antardaerah timpang, bahkan selisih IPM tertinggi dan terendahnya sangat jauh? Tidak ada jawaban selain pemerataan pembangunan memang masih jauh panggang daripada api. Ikhtiar sudah banyak, termasuk bagaimana Presiden Jokowi berkali-kali teriak soal Indonesiasentris. Namun, realisasinya memang belum terlihat banyak.

Fakta bahwa pembangunan yang menghela pertumbuhan ekonomi saat ini masih lebih marak di wilayah Jawa, Sumatra, dan sebagian Kalimantan, itu tidak bisa dibantah. Sebaliknya di Sulawesi, sebagian Bali, Nusa Tenggara, Maluku, apalagi Papua, masih jauh tertinggal. Ketimpangan pembangunan antarwilayah itulah yang diduga menjadi salah satu penyebab capaian IPM setiap daerah berjarak amat jauh.

Pada saat yang sama terlihat masih ada gap yang terlampau jauh antara keinginan pemerintah pusat dan kemauan pemerintah daerah. Program pemda terkadang tidak sinkron dengan target pemerintah pusat.

Pun dengan dana-dana transfer dari pusat ke daerah, yang sebetulnya jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun, tapi efektivitasnya rupanya masih perlu dipertanyakan. Faktanya, tidak banyak daerah yang mampu memanfaatkan sumber dana tersebut dengan maksimal.

Tidak berlebihan rasanya bila kita mulai mencemaskan fenomena itu. Uang yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah ialah uang besar. Maka, sebesar itu juga harapan masyarakat di daerah bahwa uang itu dapat menyejahterakan sekaligus meningkatkan kualitas hidup mereka. Pun, sebesar itu pula hasrat masyarakat di daerah miskin untuk bisa bersanding sejajar dengan mereka yang berdiam di daerah kaya.

Tidak bisa tidak, harus ada peningkatan produktivitas dari belanja pemda. Pemerintah daerah mesti pintar mengatur strategi, memilah prioritas, memperbaiki iklim investasi, sekaligus meminimalisasi fraud akibat godaan uang besar yang mereka dapat. Jika itu tekun dilakukan, risiko ketimpangan di masa mendatang pasti bakal berkurang.

Di sisi lain, pemerintah pusat juga mesti terus merilis kebijakan yang mendorong pembangunan industri di daerah, terutama luar Jawa. Program peningkatan kualitas SDM, terutama melalui pendidikan, harus semakin masif dan terukur. Genjotan infrastruktur oleh pusat pun tak boleh melambat.

Dengan cara-cara itu, pasti ada harapan besar untuk mendobrak ketimpangan sekaligus menaikkan level mutu kehidupan masyarakat hingga ke pelosok Tanah Air. Syaratnya satu, jangan berlama-lama. Pemerintah mesti gerak cepat. Berlambat-lambat hanya akan membuat semua niat dan ikhtiar itu 'masuk angin'.

 

RR/MI