RADARRIAUNET.COM - Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Semua anak negeri ini sepakat. Namun, gagal membuat kesepakatan bahwa koruptor harus kita benci karena sebagian justru merawat nalar toleransi terhadap korupsi.
Bila yang tertangkap adalah lawan politik, ramai-ramai menghujat dengan bingkai narasi kebencian terhadap sang koruptor. Bila yang ditangkap dari kelompoknya, suku, agama, atau afiliasi politik sama, ramai-ramai menuduh penangkapan itu rekayasa dan konspirasi.
Drama mendukung dan membenci karena menguntungkan dan merugikan kelompoknya adalah dialektika jamak di media sosial (medsos) ataupun konvensional. Berbekal informasi terbatas --karena ruang informasi kita yang asimetris-- pertempuran saling ejek atau mendukung disajikan setiap hari di medsos, miskin makna, karena memang tidak mengusung nilai kesejatian, yakni nilai antikorupsi yang otentik. Yang diusung adalah semangat kelompok, afiliasi politik atau kedaerahan.
Menjadi antikorupsi ketika yang terlibat lawan politik, sebaliknya menjadi pembela koruptor ketika yang terlibat mitra politiknya. Otentisitas absen ketika bersikap terkait korupsi. Tidak mudah memang merawat otentisitas sikap dalam isu korupsi karena eksisnya budaya ewuh pakewuh dalam komunitas.
Di tengah fakta dialektika publik ini, KPK menjadi objek utama yang diperbincangkan, ada harapan dan kepercayaan yang disandarkan publik kepada KPK. Namun, ada pula kebencian dan dendam yang terus dirawat oleh sebagian kelompok. Mereka ini keberatan bila disebut sebagai koruptor atau pembelanya.
Namun, mereka selalu menyebut diri sebagai pencari kebenaran dan keadilan karena dalam setiap operasinya tak semua yang ditangkap KPK betul-betul bersalah. Proses hukum akan membuktikan, apakah KPK salah menangkap atau tidak.
Apa pun yang dilakukan KPK selalu mendapat kritik konstruktif sampai sekadar kenyinyiran dan kebencian. Bahkan, mereka yang biasanya mempercayai penuh KPK mulai ragu dan mengkritik keras KPK.
Akarnya sederhana, banyak kasus besar yang masih belum mampu diselesaikan. Bahkan, kecenderungan perspektif publik, KPK takut dan menghindar bila kasus korupsi terkait kepolisian atau yang sedang berkuasa. Ada apa dengan KPK jilid ke-4 ini?
Kurang lebih 15 tahun KPK berdiri, kekuatan penopang kedigdayaan KPK adalah harapan dan kepercayaan publik. Rakyat seolah memiliki harapan untuk Indonesia yang lebih adil dan sejahtera, ketika penegakan hukum kasus korupsi ditangani institusi hukum khusus bernama KPK.
Harapan publik sudah pupus terhadap aparatur hukum lainnya, seperti kepolisian, kejaksaan, bahkan kehakiman karena mereka berlilitan dengan praktik korupsi, meskipun sebagian kekuatan KPK justru juga dipasok institusi hukum lain. Lingkungan baru ternyata membangun tradisi baru.
Kendati banyak juga yang gagal melakukan institusionalisasi budaya baru, pada akhirnya menjadi 'kudis' bagi KPK saat berusaha keras membangun budaya antikorupsi melalui penegakan hukum.
Ketika semangat juang lawan korupsi menghujam kuat di hati personel KPK, dibarengi kepercayaan publik yang besar, kasus korupsi besar mulai ditangani KPK. Tentu gelombang besar kepercayaan publik terus hadir mengawal KPK.
Perlawanan sistematis pun dilancarkan. Kekuasaan yang besar dimobilisasi untuk melawan. KPK bak anak muda yang on fire dengan modal idealisme yang diusung dan dirawat, ditambah dukungan publik yang ramai, harus diredupkan, harus dilumpuhkan.
Begitulah narasi yang dibangun kekuatan yang merasa terancam agenda pemberantasan korupsi oleh KPK. Padamkan api integritas sehingga kepercayaan publik akan melemah, bahkan hilang. Pada akhirnya, apa pun yang dilakukan KPK akan dipenuhi dialektika publik, yang bunyi jamaknya dipenuhi keraguan dan kecurigaan.
Kuda troya
Pertanyaannya, apakah upaya pelemahan itu sukses? Kecenderungan menuju kesuksesan telah terlihat sejak rezim Joko Widodo memerintah. Upaya pelemahan terhadap KPK berkali-kali dilakukan secara masif dan sistematis, meskipun mampu ditahan KPK dengan apik, tentu melalui 'benteng' masyarakat sipil yang mendukung KPK sepenuh hati.
Demikian pula, ketika era Joko Widodo dan DPR berulang-ulang mengajukan rencana revisi UU KPK yang juga pernah coba dilakukan sebelumnya, penolakan berjamaah tetap dilakukan publik sehingga tidak jadi direvisi.
Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK jilid ke-3 yang mendapat perlawanan sengit melalui praperadilan yang dimenangkan Budi Gunawan, menjadi awal cerita sukses melemahkan KPK secara sistematis. Kriminalisasi terhadap komisioner dan penyidik KPK yang berujung pada dinonaktifkannya dua komisioner KPK, yakni Abraham Samad dan Bambang Widjajanto.
Ketika penonaktifan inilah, kekuasaan memulai aksi strategi kuda troya melemahkan KPK. Caranya, memasukkan pelaksana tugas komisioner KPK yang kemudian hari banyak melakukan perubahan destruktif di internal KPK.
Strategi kuda troya kembali dilakoni melalui rekrutmen komisioner KPK yang baru, mulai dari komposisi Timsel KPK dan proses di Komisi III DPR hingga terpilihnya lima komisioner baru; kepercayaan publik mulai mengalami dekadensi. Keraguan publik menyeruak.
Keraguan itu berusaha disimpan dengan menitipkan harapan kepada lima komisioner baru dan para penyidik serta pegawai KPK. Masyarakat sipil percaya mereka akan segera menjawab keraguan publik dengan aksi lawan korupsi yang lebih fenomenal. Dalam harapan ini, ada doa dengan narasi berbaik sangka.
Namun, masyarakat sipil melihat tren yang justru memberikan energi besar untuk mereka yang membenci agenda pemberantasan korupsi, dengan membangun narasi kebencian atas nama mencari keadilan. KPK tetap dianggap tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus besar.
Ketidakmampuan KPK ini dijadikan narasi untuk melakukan pembelaan bahwa KPK melakukan tebang pilih dan dikendalikan oleh kekuasaan, dalam menangkap beberapa tersangka korupsi.
Narasi mengungkapkan kelemahan KPK menyelesaikan kasus besar, apalagi bila terkait jejaring pemodal besar yang terhubung langsung dengan kekuasaan, dijadikan pembelaan seolah mereka korban ketidakadilan KPK. Ditambah lagi kapasitas komunikasi publik KPK yang sangat buruk.
No point to return. KPK harus berbenah, seluruh elemen KPK harus mengembalikan integritas dan kepercayaan publik. Budaya dan semangat jihad antikorupsi berbekal keberanian dan integritas itu jangan sampai rusak.
Semua elemen KPK harus berani melawan kiriman kuda troya baru untuk merusak budaya dan semangat internal KPK. Mestakung (semesta mendukung) dalam kondisi kritis secara alamiah publik, melalui masyarakat sipil antikorupsi akan mendukung penuh.
Ketika KPK juga berusaha memenuhi harapan publik, bekerja atas nama nilai membangun Indonesia yang sejahtera, yang mana watak antikorupsi dan produktivitas menjadi mesin penggeraknya. Saya percaya KPK.
DAHNIL ANZAR SIMANJUNTAK
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah/rol