Swasta Diizinkan Berinvestasi, Negara Tetap Menguasai

Administrator - Jumat, 16 Oktober 2015 - 15:45:37 wib
Swasta Diizinkan Berinvestasi, Negara Tetap Menguasai

JAKARTA (RRN) - Pembatalan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang pengelolaan Sumber Daya Air (SDA), melahirkan dua Rancangan Peraturan Pemerintah atau RPP. Kedua RPP ini, menurut Menteri Pekerjaan Umum dan perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Hanya, peraturan ini belum diturunkan secara resmi.


Dalam peraturan ini, terdapat penjelasan mengenai mekanisme pengelolaan SDA termasuk Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Basuki mengatakan, peraturan ini tidak jauh berbeda dari UU Nomor 7 Tahun 2004 yang dibatalkan. PP menekankan keterlibatan perusahaan swasta di dalam pengelolaan air.


"Diskusinya (saat pembuatan RUU sebelumnya) air itu dikuasai negara yang diartikan mendalam sampai izin-izinnya. Tapi, dari izin ini swasta itu malah dikatakan menguasai. Sekarang tidak hanya izinnya, tapi airnya tetap dikuasai negara. Swasta boleh investasi tapi harus bekerja sama dengan pemerintah pusat, pemda (pemerintah daerah), BUMN (Badan Usaha Milik Negara, atau BUMD (Badan Usaha Milik Daerah)," ujar Basuki saat pemaparan kinerja Kementerian PUPR, di Jakarta, Selasa (13/10/2015).


Basuki mengaku, ada beberapa pihak yang menghendaki perusahaan swasta supaya bebas berinvestasi sendiri. Namun, Basuki yang merasa bertanggung jawab atas air, menolak hal tersebut. Pasalnya, judicial review Mahkamah Konstitusi justru menegaskan bahwa air harus dikuasai negara.


Nantinya, perusahaan swasta yang berinvestasi harus kerja sama dengan pemda melalui BUMD seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) atau dengan BUMN seperti Jasa Tirta. Basuki menekankan semua pihak swasta harus kerja sama dengan pemerintah sehingga memaknai air tetap dikuasai oleh negara.


Selama ini, hal tersebut belum dilakukan secara benar. Basuki mencontohkan perusahaan swasta pengelola air di Klaten. Perusahaan ini memiliki izin mengebor tanah untuk mengalirkan air 18 liter per detik. Namun, kenyataannya di lapangan, perusahaan ini mendapatkan 60 liter per detik. Sisanya, tidak ada yang dikembalikan kepada negara.


"Itu harus kerja sama dengan Pemda setempat. Ini yang harus dinyatakan dalam RPP. RPP sebelumnya belum ada pernyataan keterlibatan pemda. Mudah-mudahan sekarang dalam proses penandatanganan oleh presiden," jelas Basuki.


Direktur Jenderal Sumber Daya Air Mudjiadi, menambahkan pembatalan UU ini tidak perlu dikhawatirkan. Pembatalan tersebut bukan berarti menutup investasi swasta. Namun akses masyarakat terhadap sumber air harus tetap dijamin.


Saat harmonisasi RPP, semua menteri yang terlibat sepakat agar sumber daya air dikuasai oleh BUMN atau BUMD. Kemudian, ada permintaan bahwa pemda juga sebaiknya dilibatkan.


Selama ini, menurut Mudjiadi, Pemda menjadi ganjalan terkait pengelolaan air, karena wali kota atau bupati tidak mau menandatangani persetujuan dengan swasta. Pasalnya, seringkali masa pengusahaan air melebihi masa wali kota atau bupati menjabat.


Masalah ini, sudah dicarikan titik temu dan secara sistem pun memungkinkan. Dengan demikian, kata Mudjiadi, masyarakat tidak perlu khawatir pengusahaan air tidak diteruskan oleh wali kota atau bupati selanjutnya. (kps/fn)