RADARRIAUNET.COM: Pemerintah segera menyiapkan regulasi untuk memproteksi dunia pers dari serangan platform digital. Regulasi itu dibutuhkan untuk melindungi ekosistem media massa sehingga masyarakat mendapatkan konten berita yang baik.
Platform digital global membanjiri Indonesia saat ini. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tidak ada regulasi yang mengatur platform digital. Regulasi yang ada hanya mengatur media konvensional. Platform digital asing melenggang kangkung tanpa dibatasi perundang-undangan untuk menikmati keuntungan ekonomi.
Presiden Joko Widodo sangat menyadari adanya kekosongan regulasi yang mengatur platform digital asing. Karena itu, Presiden memastikan pemerintah segera menyiapkan regulasi yang dimaksud.
Kepastian itu disampaikan Presiden saat berpidato dalam perayaan Hari Pers Nasional 2020 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (8/2). Karena regulasi belum ada, platform digital asing masuk begitu saja dan mengancam dunia pers. Meskipun tidak memiliki aturan main dan tidak membayar pajak, platform itu bisa mengambil iklan dalam jumlah tak terhitung.
Ketimpangan dan ketiadaan regulasi itu sudah lama membelenggu dunia pers yang selama ini dikenal sebagai kekuatan keempat demokrasi. Karena itulah Dewan Pers memfasilitasi pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Keberlanjutan Media pada 21 Januari lalu.
Pokja itu akan melakukan studi, riset, hingga diskusi untuk membicarakan media sustainability di era disrupsi media, era transformasi media. Selain itu, persoalan bisnis media akan menjadi pembahasan dalam kelompok kerja tersebut.
Menurut rencana, pokja akan memberikan rekomendasi regulasi kepada pemerintah. Peraturan itu akan mengatur hubungan antara penerbit pers dan platform digital atau agregator berita. Hubungan itu terkait dengan kerja sama konten, data, dan pembagian keuntungan.
Sekalipun belum ada rekomendasi dari Dewan Pers, Presiden Joko Widodo ternyata sudah merasakan denyut kecemasan dunia pers. Janji Presiden membuat regulasi untuk memproteksi dunia pers dari serangan platform digital asing sekaligus memperlihatkan fakta bahwa negara sesungguhnya hadir.
Harus tegas dikatakan bahwa yang dibutuhkan itu bukanlah regulasi yang memberi monopoli kepada media konvensional. Praktik monopoli harus dibuang jauh-jauh.
Regulasi itu tidak hanya menjamin terjadinya persaingan bisnis media yang sehat dan seimbang, tetapi pada saat bersamaan hendaknya mampu memberantas virus hoaks yang terutama menjalar melalui media sosial.
Dalam perspektif melawan hoaks, patut diapresiasi pernyataan Presiden bahwa negara sangat membutuhkan kehadiran pers dalam perspektif yang jernih, berdiri di depan melawan kekacauan informasi. Kekacauan yang disengaja itu disebarluaskan melalui media sosial termasuk platform digital.
Tegas dikatakan bahwa berita-berita yang disajikan platform digital bukanlah hasil kegiatan jurnalistik yang mengutamakan verifikasi fakta. Karena itu, media sosial tidak bisa menggantikan peran media konvensional sebagai ruang publik yang beradab.
Tanpa menihilkan peran media sosial dalam membangun proses demokratisasi, media sosial berkembang pesat bukan hanya sebagai artikulasi kebebasan, melainkan juga sarana menyebarkan kebohongan, ujaran kebencian, dan sumpah serapah. Ia telah berkembang menjadi sarana forum diskusi yang mengabaikan etika publik dan etika komunikasi.
Keberlanjutan media tidak sepenuhnya bergantung pada regulasi. Media juga dituntut terus-menerus mengembangkan profesionalitas, melakukan inovasi, dan harus mampu beradaptasi dengan perubahan dalam masyarakat.
RR/MI