RADARRIAUNET.COM: Sebagai sebuah tradisi budaya, Imlek sesungguhnya telah menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Lihat saja di berbagai pusat perbelanjaan, tempat wisata kuliner, supermarket, kompleks perumahan dan zona-zona publik, beberapa hari menjelang perayaan Imlek nyaris semua didominasi warna merah. Merah ialah simbol kebahagiaan dan masa depan yang cerah bagi etnik Tionghoa.
Dari tahun ke tahun, ada indikasi perayaan Imlek cenderung makin meriah. Imlek, boleh jadi bukan sekadar sebuah perayaan pergantian tahun bagi etnik Tionghoa, melainkan sebuah momen kultural yang telah mengalami komodifikasi.
Bagi pelaku bisnis, Imlek tak beda dengan perayaan Natal, tahun baru, Lebaran, dan hari-hari besar lain yang notabene ialah momen untuk mendulang keuntungan dari meningkatnya antusiasme masyarakat berbelanja merayakan hari besar mereka.
Integrasi tidak kunjung terbangun
Perayaan Tahun Baru Imlek yang jatuh pada Sabtu, 25 Januari 2020, kalender Masehi tentu bakal disambut dengan suka-cita komunitas Tionghoa di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Sejak tahun 2003, di Indonesia Imlek bahkan telah ditetapkan secara resmi sebagai hari libur nasional. Sudah barang tentu ini merupakan bentuk pengakuan dari pemerintah yang sangat penting dan menggembirakan etnik Tionghoa.
Cuma, yang menjadi masalah sekarang, walaupun telah ada pengakuan resmi dari pemerintah tentang tradisi dan eksistensi etnik Tionghoa di Indonesia, dalam praktik sehari-hari jujur harus diakui bahwa masih ada 'jarak sosial' dari sebagian masyarakat karena berbagai alasan. Toleransi yang semestinya menjadi fondasi bangsa Indonesia membangun kehidupan yang multikulturalisme, hingga saat ini masih sering menemui hambatan.
Di tingkat personal dan individu-individu tertentu, kehadiran etnik Tionghoa memang sering tidak lagi dipermasalahkan. Bahkan, tidak sedikit etnik Tionghoa yang diterima dengan tangan terbuka sebagai sahabat, atau bagian dari keluarga terdekat oleh masyarakat. Namun, di tingkat kelompok, harus diakui yang namanya prasangka atau syak wasangka masih belum sepenuhnya dapat dihapuskan.
Stigma etnik Tionghoa sebagai bagian dari kelompok pendatang yang serakah, manipulatif, ekslusif, dan mengeruk keuntungan dari sumber daya lokal tetap menjadi isu yang mudah digoreng sebagai indikator bahwa jarak itu memang belum sepenuhnya hilang. Kebijakan politik kolonialisme Belanda yang menempatkan etnik Tionghoa sebagai warga kelas dua di atas penduduk pribumi memang telah menorehkan luka yang tak kunjung sembuh.
Secara garis besar, ada tiga faktor yang membuat kenapa integrasi etnik Tionghoa dengan masyarakat tidak kunjung terbangun dengan baik. Pertama, karena titik silang yang memungkinkan dua kelompok etnik yang berbeda ini dapat saling menyapa belum berkembang, dan bahkan tidak ada. Berbeda misalnya dengan etnik Arab yang mayoritas sama-sama memeluk agama Islam seperti mayoritas penduduk Indonesia. Etnik Tionghoa sebagian besar memeluk agama Buddha, Kristen, atau Konghuchu. Karena itu, secara sosial tersegregasi dengan etnik pribumi.
Kedua, karena ruang-ruang sosial dan kesempatan yang memungkinkan etnik Tionghoa bergaul dan menyapa etnik Jawa dan etnik yang lain tidak banyak tersedia. Di berbagai daerah, sudah menjadi pola umum bahwa etnik Tionghoa umumnya bermukim di zona-zona yang eksklusif, berbelanja di tempat yang berbeda, dan anak-anak mereka umumnya juga bersekolah di sekolah yang berbeda.
Cap bahwa etnik Tionghoa ekslusif, dalam kenyataan tidak sepenuhnya salah. Sebab, di kota-kota besar dan di daerah, segregasi sosial yang tumbuh umumnya memang beririsan antara kelas miskin dan kelas menengah ke atas, yang kebetulan kelas menengah ke atas lebih banyak didominasi etnik Tionghoa.Ketiga, karena warisan sejarah masa lalu yang kelam, yang tidak pernah terselesaikan secara tuntas. Efek samping peristiwa G-30-S/PKI, pengusiran etnik Tionghoa dari Indonesia di era Soekarno, kasus 'dugaan' pemerkosaan massal perempuan etnik Tionghoa di Jakarta yang masih menjadi misteri. Lainnya ialah rentetan peristiwa yang seolah menjadi tembok penghalang dari setiap pihak untuk berbaur dan membuka hati.
Sepanjang luka lama dan syak wasangka antaretnik masih menghantui, memang tidak mudah untuk membangun kembali solidaritas dan kohesi sosial etnik Tionghoa dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Walaupun untuk sejumlah kasus, peran etnis Tionghoa dalam kemerdekaan telah diakui, dan tidak sedikit tokoh-tokoh Tionghoa yang memperlihatkan jiwa kebangsaannya bagi Indonesia. Namun demikian, batas sosial itu sepertinya tetap ada.
Rawan dipolitisasi
Di tengah meningkatkan tensi politik menjelang pelaksanaan pilkada, berbagai hal yang bermuatan SARA menjadi salah satu isu peka yang rawan dimanipulasi. Isu tentang serbuan tenaga kerja asing (TKA) dari Tiongkok, dominasi konglomerat Tiongkok dalam sistem perekonomian nasional, dan lain sebagainya ialah isu-isu lama yang peka dan rentan bergulir ke arah yang keliru.
Berbeda dengan perayaan Imlek tahun-tahun sebelumnya yang berjalan biasa-biasa saja, di tahun politik segala sesuatu bisa berbeda dan multitafsir. Menguatnya kembali politik identitas, diakui atau tidak telah mengakibatkan munculnya kembali sentimen anti-Tionghoa walau dengan gradasi yang fluktuatif dan berbeda-beda di berbagai daerah.
Merayakan Imlek dengan gegap gempita dan suasana yang glamor, bagi sebagian orang mungkin telah dipahami sebagai bagian dari cara kekuatan komersial atau kapitalisme yang memanfaatkan momen Imlek untuk mendulang keuntungan yang sebesar-besarnya.
Namun, bagi masa depan bangsa Indonesia, perayaan Imlek sesungguhnya lebih bermanfaat jika dapat lebih dirasakan spirit yang terkandung di dalamnya, yakni bagaimana kita berbagi kebahagiaan, berbagi rezeki, dan mengembangkan kesejahteraan bagi kita semua. Semoga perayaan Imlek menjadi momen yang bermanfaat bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
RR/MI