Ibu Kota Baru dan Pengadaan Tanah

Administrator - Jumat, 30 Agustus 2019 - 14:09:37 wib
Ibu Kota Baru dan Pengadaan Tanah
Opini. Media Indonesia pic

PRESIDEN Joko Widodo dengan yakin telah memutuskan dan mengumumkan Provinsi Kalimantan Timur sebagai calon ibu kota, menggantikan DKI Jakarta. Rencana pemindahan ibu kota ini akan menjadi salah satu proyek strategis nasional yang membutuhkan lahan seluas 180 ribu hektare (ha) dan membutuhkan biaya di atas Rp500 triliun.

Salah satu implikasi yang akan segera dilakukan ialah proses pengadaan tanah untuk lahan ibu kota yang baru. Hal ini menjadi tantangan dalam mempercepat realisasinya karena pasti tidak mudah meskipun pemerintah mengklaim bahwa sebagian besar lahan yang tersedia ialah tanah negara. Pengadaan tanah untuk pembangunan ibu kota baru jangan sampai melanggar hak asasi manusia (HAM).

Sejak diberlakukan Undang-Undang No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, semula diharapkan menjadi solusi dan legalitas atas banyaknya proyek pembangunan yang terlambat atau batal karena pengadaan tanah yang tidak terselesaikan, ternyata dalam realisasinya tidak semudah itu. Semula, banyak pemilik tanah tidak rela melepaskan harga tanah menurut harga nilai jual objek pajak (NJOP) ataupun alasan lain. Oleh karena itu, melalui undang-undang tersebut, harga pembebasan lahan ditentukan juru taksir tanah (appraisal), panitera pembayaran tanah, dan pekerja konstruksi.

Dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2012, tidak hanya aspek ekonomi yang diperhitungkan, tapi juga aspek sosial dan budaya. Jika harga pembebasan lahan sudah ditentukan dan masih ada keberatan dari pemilik tanah, bisa mengajukan keberatan ke bupati atau gubernur atau menteri dalam negeri. Jika itu belum cukup, dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dan seterusnya. Jika mekanisme tersebut telah ditempuh pemilik tanah dan ditolak, pemerintah bisa menitipkan uang kompensasi di pengadilan negeri (konsinyasi).


Meskipun mekanisme pembebasan tanah telah lebih baik dari era sebelumnya, bukan berarti bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan menjadi lebih mudah. Hal ini karena banyak proyek-proyek pembangunan yang telah direncanakan dan diketahui secara umum, tidak sedikit dari para spekulan tanah bermain dengan cara jauh-jauh hari membeli tanah warga dengan harga murah dan menjualnya dengan harga tinggi kepada pemerintah, di atas harga yang wajar sesuai anggaran negara.

Perilaku spekulan tanah ini yang memperlambat pengadaan tanah, apalagi jika kemudian ditempuh jalur hukum jika tuntutannya tidak terpenuhi. Solusinya, pemerintah harus melarang peralihan hak atas tanah dalam periode waktu tertentu sebelum proyek dimulai untuk mencegah ulah para spekulan. Namun, tidak semua karena ulah spekulan, tidak sedikit pemilik tanah yang enggan menjual tanahnya karena alasan tertentu, yaitu merupakan warisan turun-temurun, tanah ulayat/adat, dan menjadi sumber mata pencarian.

Pengadaan tanah melalui jalur konsinyasi, meskipun dibenarkan menurut hukum positif, merupakan bentuk dari pemaksaan kehendak penguasa kepada rakyat pemilik tanah. Memang, hak atas tanah tidak bersifat mutlak dan bisa dibatasi atau dicabut atas nama undang-undang, dengan memberikan kompensasi yang layak dan memadai. Namun, jangan sampai atas nama kepentingan umum, Undang-Undang No 2/2012 tersebut dipakai sebagai alat bagi pemerintah untuk memaksakan kehendaknya, seperti banyak terjadi, taksiran dari jasa penilai independen (appraisal) banyak di bawah nilai ideal yang diinginkan warga terdampak.

Meskipun Undang-Undang No 2/2012 telah mengadopsi semangat HAM, melalui pengaturan prosedur dan langkah-langkah pengadaan tanah yang lebih terbuka dan oleh juru taksir independen. Namun, masih miskin dengan prinsip dan norma-norma HAM secara utuh, yaitu transparansi, partisipasi, dan nondiskriminasi, serta selaras dengan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.


Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 36 ayat (2) menyatakan bahwa tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum dan Pasal 37 ayat (1) berbunyi pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berkaitan dengan transparansi, proyek pembangunan ibu kota baru harus disampaikan dan dijelaskan secara transparan kepada para pemilik tanah dan warga terdampak sehingga bisa mendapatkan gambaran tentang tujuan dan manfaat atas proyek tersebut bagi kesejahteraan masyarakat dan negara secara umum. Bukan sebaliknya, hanya akan menguntungkan para korporasi yang bergerak di bidang properti.

Dari sisi partisipasi, pemilik tanah dan masyarakat terdampak harus diberikan jaminan untuk berkontribusi dalam proyek tersebut. Partisipasi ini bisa berbentuk pelibatan sumber daya manusia dalam proses pembangunan dan operasional proyek tersebut sehingga masyarakat mendapatkan manfaat dan terlibat di dalam proyek tersebut sebagai bagian dari pengembangan diri dan kesejahteraannya.

Kemudian dari sisi nondiskriminasi, harus ada perlakuan yang sama terhadap pemilik lahan. Jangan sampai ada pembedaan perlakuan dan perbedaan harga pembebasan lahan. Hal ini sering terjadi yang tim pengadaan tanah memberikan harga yang berbeda terhadap pemilik lahan sebagai cara agar tanah bisa diperoleh secara cepat. Hal ini bisa menimbulkan konflik dan kecemburuan sosial yang menghambat pelaksanaan proyek.


Hak pemilih tanah

Pemerintah harus memastikan bahwa ketika tanah telah beralih hak, hak atas kesejahteraan para pemilik tanah tetap diperhatikan dan dijamin. Hal ini karena dibanyak kejadian, setelah pemilik tanah melepaskan haknya, kondisi kehidupannya semakin menurun karena kehilangan sumber mata pencaharian dan pekerjaannya. Masyarakat menjadi lebih konsumtif, contohnya, petani yang kehilangan tanah sawahnya harus difasilitasi untuk bisa mendapatkan tanah persawahan yang baru agar mampu melanjutkan kehidupannya.

Dengan demikian, kewajiban dan fungsi pemerintah tidak hanya berhenti pada jual beli lahan, tapi juga memastikan bahwa pemilik lahan dan masyarakat terdampak terpenuhi hak mereka untuk hidup secara layak dan menerima manfaat dari pembangunan infrastruktur.

Pascapenunjukan Kaltim sebagai ibu kota baru, akan semakin banyak tantangan di depan terkait dengan pengadaan tanah. Ketangguhan dan kecermatan pemerintah diuji agar mampu merealisasikan program ambisius Presiden Jokowi tersebut tanpa mencederai prinsip dan norma-norma HAM.

Hukum HAM menjadi alat kontrol agar pemerintah tidak semana-mena terhadap rakyatnya. Demikian pula sebaliknya, rakyat tidak akan menjadi penghalang bagi proyek-proyek negara jika mereka mendapatkan manfaatnya secara nyata dan berkelanjutan sehingga mampu terpenuhi hak-haknya atas kesejahteraan dan kehidupan yang layak yang dijamin dalam konstitusi. (Pendapat pribadi)


RRN/MI