BKPM: Vietnam Pesaing Terberat RI Gaet Investasi Padat Karya

Administrator - Rabu, 02 September 2015 - 14:10:00 wib
BKPM: Vietnam Pesaing Terberat RI Gaet Investasi Padat Karya
FOTO:cnnindonesia

RADAR BISNIS - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menganggap Vietnam sebagai pesaing utama Indonesia di bidang investasi padat karya pada saat ini. Hal ini menjadi cambuk bagi BKPM untuk mengalahkan Vietnam pada tahun depan dalam hal menyerap modal masuk ke sektor padat karya di Tanah Air.

Pernyataan BKPM ini merujuk pada data investasi asing di Asia Tenggara pada periode semester I 2015 yang dirilis pihak ketiga, yaitu Financial Times. Pada data tersebut, investasi asing yang masuk ke Indonesia tercatat sebesar US$ 13,66 miliar atau 31 persen dari total investasi asing yang masuk ke Asia Tenggara sebesar US$ 43,93 miliar.

Realisasi investasi Indonesia tersebut lebih besar dibandingkan dengan yang dibukukan Vietnam yang sebesar US$ 7,53 miliar, atau hanya 17 persen dari total investasi kawasan.

Namun untuk investasi tekstil, Financial Times mencatat modal yang masuk ke Vietnam mencapai US$ 527,1 juta, lebih besar dibandingkan dengan yang diserap Indonesia US$ 139 juta.

"Bisa dibilang, Vietnam merupakan saingan terberat kami dari segi investasi padat karya. Kami berharap bisa mengejar ketertinggalan, itu pun kalau regulasi-regulasi terkait iklim investasi padat karya sudah rampung," jelas Kepala BKPM, Franky Sibarani di Jakarta, Senin (31/8).
 
Beberapa regulasi tersebut, tambah Franky, adalah kebijakan terkait kepastian sistem penetapan upah minimum serta kemudahan perizinan penanaman modal. Ia mengatakan bahwa kedua regulasi tersebut selalu ditanyakan oleh investor padat karya yang akan menanamkan modalnya di Indonesia.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kemudahan perizinan sudah disederhanakan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) pusat. Nnamun, belum adanya kepastian terkait formulasi upah minimum menjadi sedikit hambatan bagi BKPM untuk merealisasikan hal tersebut.

"Industri padat karya ini sangat sensitif pada kenaikan harga-harga, sehingga mobilitasnya pun juga sangat dinamis. Maka dari itu, kebijakan terkait hal tersebut harus dikeluarkan sekarang dan diuji selama beberapa waktu ke depan. Kalau sudah diuji, investor makin yakin," jelasnya.

Selain masalah pengupahan, ia mengatakan bahwa kebijakan perdagangan bebas (FTA) dengan negara-negara tujuan ekspor utama juga merupakan insentif yang ampuh agar investor industri padat karya untuk menanamkan modalnya di Indonesia, berkaca pada pengalaman Vietnam.

"Negara kita belum punya kebijakan FTA dengan wilayah tujuan ekspor tekstil seperti Amerika Serikat maupun Benua Eropa, sedangkan Vietnam memiliki kerjasama itu. Maka dari itu, barang-barang ekspor kita kesana masih dikenakan bea masuk," tutur Franky.

Sebelumnya, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengatakan bahwa besaran bea masuk ini sebesar 11 hingga 30 persen, sehingga membuat ekspor tekstil tidak kompetitif. Franky menerangkan, selain karena bisa menjadi daya tarik investasi, kebijakan FTA ini dinilai penting karena bisa meningkatkan nilai ekspor produk tekstil kedepannya.

Perlu diketahui bahwa nilai ekspor tekstil dan produk turunannya pada tahun 2014 mencapai US$ 12,74 juta atau 7,2 persen dari total ekspor non migas nasional tahun 2014 yang mencapai US$ 176,29 juta dollar. Ekspor Indonesia tercatat menyumbang 1,8 persen dari total produksi tekstil dunia.

"Kalau semuanya kita benahi, dan regulasi tersebut kita buktikan dalam setahun ke depan, BKPM optimis tahun depan kita bisa mengejar ketertinggalan realisasi investasi di bidang industri padat karya dengan Vietnam," jelas Franky. (ags/fn)