RADARRIAUNET.COM - Pengacara Publik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Wahyu Nandang Herawan menilai, belum ada penyelesaian yang signifikan soal vaksin palsu yang beredar sekitar dua bulan terakhir.
Padahal penyelesaian kasus ini melibatkan banyak pihak. Nandang menyebut Kementerian Kesehatan, Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat hingga Badan Pengawas Obat dan Makanan bertanggung jawab menuntaskannya.
Kementerian Kesehatan sendiri telah mengumumkan 14 rumah sakit yang diketahui melakukan vaksinasi dengan vaksin palsu.
Dari 14 rumah sakit tersebut, 13 di antaranya berlokasi di Bekasi, Jawa Barat. Seluruh rumah sakit diketahui mendapatkan vaksin palus dari CV Azka Medika. Sementara RS Harapan Bunda di Jakarta Timur menerima vaksin dari orang bernama M Syahrul.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek juga telah mengupayakan untuk dilakukannya vaksin ulang bagi korban terdampak vaksin palsu.
"Mereka harus bertanggung jawab karena ini merupakan kelalaian mereka dalam melakukan perlindungan dan pengawasan terhadap kesehatan masyarakat," katan Nandang di Kantor LBH, Jakarta, Kamis (22/9).
Menurutnya, Kementerian Kesehatan bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan itu. Hal ini berdasarkan pada Pasal 14 dan 15 Undang-undnag Nomor 36 tahun 2009 yang mengatakan pemerintah bertanggung jawab untuk merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan pada pelayanan publik.
Vaksin merupakan bagian dari obat. Maka itu, kata Nandang, selain Kemenkes, BPOM juga memiliki tanggung jawab sebagai badan pengawas obat dan makanan. Lemahnya kebijakan itu harus segera diperbaiki untuk keselamatan masyarakat.
DPR, Nandang mengatakan, harus dapat membuat kebijakan dan peraturan yang berguna bagi masyarakat. Jika dikatakan lemahnya kebijakan yang berlaku selama ini maka DPR harus merevisinya. Dan Presiden harus menyikapi hal ini dengan bijaksana.
"Gubernur DKI dan Jawa Barat juga harus bertanggung jawab karena kan yang menjadi korban di Jakarta dan Jawa Barat. Mereka harus membuat kebijakan perlindungan bagi masyarakat," ujarnya.
Permasalahan lainnya, Nandang mengatakan, surat peringatan yang dilayangkan oleh Kemenkes kepada 14 RS tersebut tidak transparan. Nantinya, masyarakat tidak mengetahui apa yang seharusnya mereka lakukan jika vaksin palsu masih beredar.
Pemberian vaksin ulang bagi korban vaksin palsu, juga dinilai tidak transparan bagi korban. Hal ini berdasarkan pengaduan yang dilakukan oleh 600 orangtua korban vaksin palsu di RS Harapan Bunda yang memutuskan tidak lakukan vaksin ulang untuk anaknya.
"600 ini bukan hal yang kecil tapi banyak. Mereka berarti tidak percaya dengan pemerintah. Pemerintah melakukan kebijakan tapi enggak terbuka bagaimana bisa mengontrol," kata Nandang.
Oleh karena itu diharapkan ada keterbukaan pemerintah agar dapat diterima dan diketahui oleh masyarakat terkait masa depan dari anak-anak.
cnn/radarriaunet.com