RADARRIAUNET.COM - Surat permohonan audiensi yang dikirimkan kelompok korban Tragedi 1965 kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto, ditolak. Penolakan ini, menurut para korban, menunjukkan pemerintah tak berkomitmen menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia.
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65 Bedjo Untung mengatakan, penolakan audiensi disampaikan oleh Deputi Bidang Koordinator Hukum dan HAM Kemenko Polhukam Jhoni Ginting dalam surat resmi tertanggal 6 September 2016.
Berdasarkan surat itu, ujar Bedjo, Kemenko Polhukam menyatakan Wiranto tak perlu bertemu dengan korban karena penyelesaian Tragedi 1965 saat ini tengah menanti keputusan pemerintah.
"Penolakan itu dapat dinilai sebagai ketidakseriusan pemerintah untuk menyelesaikan Tragedi 1965 secara tuntas," ujar Bedjo di Jakarta, Rabu (21/9).
Ia mengatakan, 5 Agustus lalu jajaran Kemenko Polhukam menggelar pertemuan dengan perwakilan Komnas HAM dan sejumlab pakar. Pada forum itu, pemerintah merancang penyelesaian Tragedi 1965 tanpa frasa salah-menyalahkan agar tidak menyulut dendam dan kebencian.
Langkah pemerintah menolak permohonan audiensi korban 1965, menurut perwakilan Pengadilan Rakyat Internasional 1965 Harry Wibowo, bertolak belakang dengan janji pemerintah saat Menko Polhukam masih dijabat oleh Luhut Binsar Pandjaitan.
Luhut saat itu berjanji membentuk tim verifikasi untuk mengetahui kebenaran soal keberadaan kuburan massal korban Tragedi 1965.
Harry mengatakan, menurut anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto, Panitia Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 melalui Pendekatan Kesejrahan telah menyerahkan naskah rekomendasi kepada Wiranto.
Kini, oleh sebab Wiranto telah ditunjuk Jokowi menggantikan Luhut sebagai Menko Polhukam, para korban ingin memastikan kelanjutan penanganan kasus kepada Wiranto. Namun ternyata kini permohonan audiensi mereka ditolak.
Berbagai ketidakjelasan pemerintah atas penyelesaian Tragedi 1965 membuat para korban berencana mengadu ke Pelapor Khusus HAM untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Bedjo mengatakan, rencana membawa kasus 1965 ke dunia internasional bukan untuk mempermalukan negara, melainkan agar masyarakat global mengetahui soal pelanggaran HAM luar biasa pada tahun 1965 di Indonesia.
"Pemerintah memang sangat resisten terhadap keterlibatan dunia internasional pada kasus 1965. Tapi karena ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida, maka ini bukan urusan Indonesia saja, tapi seluruh umat manusia," kata Bedjo.
cnn/radarriaunet.com