Oleh: Mayjen TNI (Purn) Dr. Saurip Kadi
Radarriau.net | Membahas Reformasi Polri tanpa memahami belenggu realitas yang dihadapi bangsa selama ini, tak terkecuali atas keberadaan UUD kita yang secara keilmuan masuk dalam kategori asistemik dan akonstitutif, niscaya akan salah sasaran. Disisi lain agar kontekstual Reformasi Polri tetap dalam koridor demokrasi, maka konsep Reformasi Internal ABRI 1998 sebagai sumber semangat dan tekad Pimpinan ABRI dalam memisahkan Polri dari TNI perlu dijadikan salah satu rujukan utamanya.
Memang sangat disayangkan proses 4 kali Amandemen UUD-1945 tidak didahului dengan perubahan platform sistem kenegaraan dari semula otoriter menjadi demokrasi, sehingga penyakit bawaan UUD-1945 yang asli terus berlanjut. Lebih parah lagi kalau mengkaji kandungan isi UUD yang kita terapkan saat ini, bukankah NKRI kini berada diwilayah “SODOM dan GOMORA”, karena sistem kenegaraan dan juga sistem demokrasi yang tergambar didalamnya tanpa kejelasan “Jenis Kelamin” nya. Hal tersebut terjadi karena tanpa akal sehat sistem kenegaraan model demokrasi dicampur dengan otoriter, sementara rumusan sistem demokrasinya campuran antara sistem presidensial dengan parlementer.
Dengan memahami gambaran politik makro tersebut diatas, kita perlu memberi masukan kepada Tim Reformasi Polri bentukan Presiden Prabowo Subianto. Dengan harapan agar konsep Reformasi Polri yang kelak dihasilkan akan mampu menjadi solusi untuk menyelamatkan masa depan NKRI, sebagaimana yang dicontohkan TNI dalam menyambut hadirnya era reformasi, sehingga proses reformasi yang lalu tidak sampai kembali dibarengi dengan banjir darah anak bangsa, sebagaimana yang terjadi pada pergantian era sebelumnya..
Makna Strategis Reformasi Polri.
Tanpa bermaksud menyalahkan siapapun, karena ketergesa-gesaan orang tua kita dalam memproklamasikan kemerdekaan 17 – Agustus – 1945 sebagai bentuk kontrak sosial berdirinya NKRI, menjadi wajar saja kalau kandungan isi UUD-1945 yang asli tergolong ASISTEMIK dan AKONSTITUTIF. Disebut asistemik dan akonstitutif, karena susunan kelembagaan negara dan juga kelembagaan demokrasi nya belum disusun dalam bentuk rangkaian yang saling bersinergi satu dan lainnya dalam sebuah totalitas yang didalamnya telah dilengkapi dengan “TOOL” yang valid akan mampu menjadikan NKRI sebagai “WADAH dan ALAT BERRSAMA” bagi segenap anak bangsa.
Disanalah maka kesulitan dalam menjalankan pemerintahan, oleh Bung Karno disiasati dengan menerapkan “Demokrasi Terpimpin”, sementara Suharto dengan model “Demokrasi Pancasila”. Yang pasti semua yang dikerjakan oleh kedua penguasa pada kedua era tersebut termasuk pendholiman negara terhadap anak bangsanya sendiri kesemuanya SAH dan Konstitusional. Namun dampak yang tidak bisa dielakkan, kini residu peninggalan masa lalu sangat memberatkan generasi penerus.
Dari besarnya belenggu realitas dan residu masa lalu yang memasung bangsa seperti itulah Polri diera Reformasi dibentuk dan dibesarkan, maka sesungguhnya rendahnya legitimasi lembaga serta kebobrokan moral sebagian anggota Polri khususnya elitnya yang ditandai dengan keterlibatan mereka dalam kasus Narkoba, Judol, dan banyak kasus lainnya sesungguhnya lebih dikarenakan oleh sistem yang mengaturnya. Dengan mengandai saat ini diberlakukan pembuktian terbalik atas kekayaan Anggota Polri khususnya elitnya dan apalagi kalau diadakan “Fit And Profer Test” secara terbuka dengan melibatkan Rakyat, niscaya hanya sedikit sekali saja elit Polri yang bisa lolos.
Disanalah makna strategis kebijakan Reformasi Polri yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto dalam arti penataan ulang kelembagaan, peran dan fungsinya dengan mengubahnya secara mendasar sebagaimana tuntutan jaman kekinian yang dilakukan secara sistemik dan terukur.
Tempatkan Polri Sebagai Bagian Dari “Law And Justice System”.
Melalui Reformasi Internal ABRI yang dilakukan sebelum bangsa ini melakukan Reformasi Nasionalnya, Pimpinan ABRI saat itu telah mengubah paham KEAMANAN dari yang semula sebagai produk dan atau hasil kerja ABRI, menjadi OUTPUT dari sistem Sipil. Dan karenanya kalau terjadi masalah keamanan haruslah diatasi terlebih dahulu oleh Aparatur Sipil termasuk Polri dan dilakukan dengan cara-cara SIPIL (Keberadaban). Namun ketika secara terukur bakal gagal atau ketika dapat dipastikan bakal jatuh korban 1 orang sekali pun, maka saat itu pula penanganan keamanan beralih menjadi porsi TNI. Untuk itu, Polri dipisah dari TNI dan selanjutnya diposisikan sebagai bagian dari “Law And Justice System”, dan selama masa transisi untuk sementara Polri dibawah Dephankam.
Sayang sekali proses reformasi Polri paska pisah dengan TNI, ternyata berbalik arah, secara tersamar kemudian kini Polri menggantikan peran TNI (Khususnya AD) model era Orde Baru. Ibarat dalam pertandingan Sepak Bola, Polri dalam kedudukannya sebagai WASIT, kini merangkap sebagai PEMAIN. Padahal yang dibutuhkan setiap anggota Polri adalah “Take Home Pay” yang mencukupi dan jaminan sosial hari tua yang memadai. Sama sekali bukan luasnya cakupan peran, fungsi dan apalagi jabatan yang kini merambah kemana-mana yang nyata-nyata diluar fungsi dan perannya dibidang penegakan hukum, sehingga secara langsung merusak sitem Pembinaan PNS pada umumnya.
Yang lebih mengenaskan adalah ketika Polri dirancang untuk menangani keamanan, akibat pemisahan fungsi HANKAM, entah belajar dimana seolah masalah keamanan nasional bisa dipisah antara fungsi pertahanan dan keamanan begitu saja. Padahal diera Orde Baru sendiri, fungsi keamanan yang menjadi porsi Polri adalah KAMTIBMAS sama sekali bukan fungsi keamanan dalam arti KAMDAGRI termasuk untuk menghadapi kekuatan Rakyat Bersenjata.
Dan hal yang mendasar lagi adalah penataan ulang fungsi lalu-lintas yang secara menajemen pemerintahan adalah fungsi pemerintahan umum dalam hal ini adalah Kementerian Perhubungan untuk di Tingkat Pusat dan Dinas Perhubungan untuk ditingkat daerah. Dengan demikian, pemandangan memilukan hati dimana anggota Polri lengkap dengan seragam, pangkat dan pistol nya menjadi tukang PALAK di jalanan, termasuk dijalan bebas hambatan (Tol) bisa diakhiri.
Sedang dalam membangun budaya Polri kedepan, yang utama adalah bagaimana dirinya mengiplementasi jargon bahwa dirinya adalah Pelayan Rakyat. Kedepan sikap sebagai Pelayan tidak sepatutnya tidak menghormati Majikan yaitu Rakyat yang melalui pajak yang dibayarnya digunakan untuk menggaji dirinya. Salah satu contoh tak terbantahkan adalah dalam pengaturan lalu lintas, dimana ketika dirinya gagal mengatur lalu lintas dengan baik yang dibuktikan kemacetan dimana-mana, namun dirinya hendak lewat, sang Majikan disuruhnya minggir dan lampu merah pun tetap diterjang. Sebuah perilaku lembaga negara tanpa etika moral, tapi SAH menurut hukum.
Penutup.
Karena UUD yang berlaku belum mematok model tertentu atas keberadaan lembaga, peran dan fungsi Polri tegas dan lugas, disisi lain dalam UUD yang berlaku juga tidak ada larangan untuk mengatur keberadaan Polri sesuai dengan tuntutan negara demokrasi sesuai jamannya, maka target Reformasi Polri yang utama adalah untuk menempatkan Polri sebagai bagian dari “Law And Justice”.
Sedang fungsi keamanan yang menjadi porsi Polri harus dikembalikan pada keamanan dalam arti KAMTIBMAS yang menjadi tanggung jawab Pemerintahan Sipil. Adapun pengaturan kelembagaan Polri kedepan mutlak disesuaikan dengan kedudukan, peran dan fungsinya yang baru. Dan kalau dianggap perlu, bisa saja diatur melalui masa transisi dalam tenggang waktu tertentu kembali dibawah Dephan sebagaimana yang pernah dilakukan diawal era reformasi.
Jakarta, 1 - Oktober -2025
Penulis*Adalah Wakil Ketua Tim Penyusun Konsep Reformasi Internal ABRI Tahun 1998.