MERANTI,(RRN) - Dinas Kesehatan (Dinkes) dan Dinas Pasar, Kebersihan dan Pertamanan (DPKP) Kabupaten Kepulauan Meranti diminta untuk tidak menunggu Kondisi Luar Biasa (KLB) terkait penyakit demam berdarah dengue (DBD) di kota sagu ini.
Penjabat (Pj) Bupati Kepulauan Meranti, Edy Kusdarwanto mengatakan, meningkatnya kasus DBD perlu ada kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat untuk saling menjaga kebersihan lingkungan.
"Memang menyatakan status KLB tidak sembarangan, harus ada standarisasi. Bisa jadi jumlah kasus kematian dan jumlah korban yang terjangkit," kata Edy di rumah dinasnya, Jumat (11/9/2015).
Edy mengatakan, untuk bisa menekankan DBD maka masyarakat perlu waspada setiap saat dengan cara menjaga kebersihan lingkungan masing-masing. Selain itu, aparat desa juga harus pro aktif dalam menciptakan semangat gotong royong.
"Jaga lingkungan sekitar, tidak perlu menunggu Dinas Kebersihan jika lingkungan sekitar rawan DBD. Aparat desa harus segera gerakan gotong royong di lingkungannya masing-masing," ujar Edy.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Dinkes setempat, per September 2015 jumlah penderita DBD sebanyak 95 kasus. Dua orang pasien diantaranya meninggal dunia. Jumlah ini diprediksi akan bertambah. Jika dibandingkan per Agustus 2014, kasus DBD hanya 39 kasus, satu orang pasien diantaranya meninggal dunia.
Meski sudah memakan dua korban jiwa akibat DBD, namun pemerintah belum menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD. Sedangkan pada tahun 2014 lalu, Meranti menetapkan KLB DBD meski hanya memakan 1 korban jiwa.
Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Lingkungan (PMKL) Dinkes Meranti, Ria mengatakan pihaknya belum menetapan KLB DBD di Meranti karena penetapan KLB harus ada keputusan bupati. Selain itu KLB akan ditetapkan jika DBD sudah menyebabkan tiga orang meninggal dunia.
"Tahun lalu terdapat 104 kasus DBD, sementara per September 2015 terdapat 95 kasus," ujarnya.
Ria mengatakan, pihaknya hanya menyatakan ada peningkatan kasus (kematian akibat) DBD di tahun 2015. Untuk langkah-langkah antisipasi yang dilakukan adalah dengan pengasapan pada lokasi penemuan kasus.
Paling utama, kata Ria, yakni kesadaran masyarakat dalam menggerakan 3 M meliputi menguras, menutup dan mengubur benda-benda yang bisa menjadi tempat genangan air. Tiga M itu juga ditunjang dengan abateisasi (pemberian bubuk abate) yang biasa dilakukan di bak penampungan air, kolam ikan, parit dan lainnya.
Ria menekankan agar setiap Puskesmas dapat berkoordinasi bersama perangkat desa atau kelurahan untuk menggiatkan gotong royong secara massal. Ia juga mengakui sebelumnya pemberian larvasidasi tidak merata di setiap desa.
"Larvasida adalah zat kimia yang dapat digunakan untuk membunuh larva nyamuk. Larvasidasi hanya diberikan ke desa yang memiliki potensi DBD tinggi, itu pun hanya dilakukan tiga bulan sekali," jelasnya. (Alo/fn)