Membangkitkan Muruah Sepak Bola

Administrator - Senin, 13 Januari 2020 - 13:45:26 wib
Membangkitkan Muruah Sepak Bola
Pelatih tim sepak bola nasional Indonesia (PSSI) yang baru, Korea Selatan Shin Tae-Yong. Foto: Mi

RADARRIAUNET.COM: Langkah pengurus baru PSSI mendatangkan pelatih baru tim nasional sepak bola wajib diapresiasi. Niatnya sudah tentu demi membangkitkan kembali muruah sepak bola Indonesia. Mochamad Iriawan sebagai ketua umum terpilih dalam Kongres 2 November 2019, bersama tim, pasti sudah menimbang saksama soal kepelatihan ini.

Sang pelatih baru, Shin Tae-yong, yang konon sudah digadang-gadang akan didatangkan sejak Kongres dilaksanakan, bukan nama sembarang. Pelatih berusia 50 tahun itu berhasil membawa klub Korea Selatan (Korsel), Seongnam Ilhwa, memenangi Liga Champions Asia 2010 dan Juara Piala Korea 2011.

Di laga sepak bola antarnegara, Shin Tae-yong melatih tim nasional Korsel U-23 dan membawa mereka lolos sampai babak perempat final pada Olimpiade 2016, di Rio de Janeiro, Brasil. Saat krisis melanda tim utama Korsel pada 2017, dia menerima tanggung jawab mengambil alih kursi kepelatihan dan membawa tim Korsel lolos ke Piala Dunia 2018.

Kualitas

Dalam konferensi pers beberapa waktu lalu, Shin Tae-yong menyatakan akan mulai bekerja secara resmi pada 13 Januari 2020. PSSI akan mengontrak sang pelatih selama 5 tahun. Salah satu pokok pikiran menarik yang sudah disampaikannya ialah terkait dengan seleksi pemain. Tak ada perlakuan berbeda antara pemain yang berlaga di kompetisi domestik dari mereka yang berlaga di luar negeri. Patokannya, menurut Sin Tae-yong, hanya kualitas.

Dalam bekerja, Shin Tae-yong akan dibantu Indra Sjafri, pelatih nasional yang bisa dikatakan sebagai ahli dalam menangani pemain-pemain muda. Prestasi terbarunya ialah membawa timnas U-23 Indonesia merebut medali perak dalam SEA Games Manila 2019.

Sepanjang Januari ini, kita tentu saja antusias menunggu langkah-langkah berikutnya dari pengurus PSSI, terutama Shin Tae-yong dan tim. Jika harapan sesuai kenyataan, setelah itu kita akan bisa menikmati sepak bola Indonesia yang lebih enak ditonton dan mendatangkan rasa kebanggaan nasional.

Dalam ukuran paling awam, kemajuan sepak bola diukur dengan kemenangan. Publik mungkin terhibur sejenak dan berharap lebih ketika melihat resume pelatih atau mungkin keindahan permainan tim di lapangan. Namun, di atas semua itu, kemenangan ialah harga mati.

Prestasi harus dicatat betul oleh semua pihak, bukan perkara instan. Kota Roma tak dibangun dalam satu hari. Tak ada kisah Roro Jonggrang dalam sepak bola.

Sebut saja negara-negara yang pernah merajai sepak bola Asia. Korea Selatan, Jepang, Arab Saudi, dan lainnya membangun sepak bola mereka berpuluh tahun. Demikian juga di Asia Tenggara, Thailand dan Vietnam menempuh jalan panjang dan berliku.

Jika ada pikiran instan semacam itu di tubuh kepengurusan, pelatih dan pemain--bahwa prestasi bisa diraih semudah membalik telapak tangan-- itu harus secepatnya diberantas. Jika itu datang dari publik sepak bola, mari kita sama-sama melakukan edukasi secara baik dan benar.

Soal kebertahapan ini, hemat saya, paling mudah dibuat dalam ukuran tahun. Meskipun pelatih baru sudah dikontrak atau dijanjikan kontrak selama 5 tahun, tetap saja harus dibuat target-target tahunan, dua tahunan dan seterusnya.

Untuk target tahunan, sebagai contoh, pengurus PSSI wajib salah satunya mengidentifikasi kompetisi, turnamen, dan pertandingan persahabatan yang wajib dimenangi. Dengan cara ini, lokomotif tim sepak bola nasional akan terus bergerak dinamis.

Sementara itu, sebagai sebuah sistem yang bekerja bersama untuk meraih prestasi, pengurus PSSI yang baru wajib membangun sinergi. Pelatih dan pemain bukanlah segala-galanya. Pertama, secara internal di antara sesama pengurus. Kedua, dengan pihak-pihak eksternal yang terkait, terutama dunia industri olahraga.

Soal yang pertama, bukan hanya dalam perjalanan panjang sejarah sepak bola Indonesia, dari seluruh dunia kita bisa belajar, betapa kepengurusan yang kohesif ialah kunci keberhasilan. Oleh karena itu, cukup sudah konflik antara pengurus dan geng pengurus yang menjadi penyakit menahun. Tak perlu lagi campur tangan FIFA yang amat memalukan kita sebagai sebuah bangsa yang mengaku beradab.

Menyamakan persepsi

Salah satu kunci untuk mengatasi egosentrisme yang menjadi penyebab konflik, menurut saya, adanya upaya sadar untuk menyamakan persepsi, visi, dan misi. Semua pengurus, termasuk unsur-unsur pemerintahan dan tokoh politik, sebagai orang-orang yang berada dalam satu kapal yang sama, harus satu tujuan menggunakan kompas yang sama dan tunduk pada nakhoda yang sama.

Dari segi pembibitan dan pembinaan pemain, salah satu langkah paling strategis yang wajib secepatnya dikelola secara efektif ialah sistem kompetisi. Ini tidak hanya mencakup kompetisi reguler untuk para pemain senior seperti Liga Indonesia maupun yang bersifat turnamen.

Kompetisi harus dipermanenkan untuk berbagai tingkat umur. Untuk itu, klub-klub wajib didorong memiliki sekolah sepak bola dalam rangka membina talenta-talenta muda mereka.

Ketika sistem kompetisi berjalan efektif, kapasitas para pemain dengan sendirinya akan meningkat. Bagi para pelatih dan pencari bakat, ragam kompetisi yang kompetitif akan menjadi ladang rekrutmen yang subur.

Hanya, jika kompetisi sepak bola kita benar-benar hendak dibenahi, virus kanker perusaknya harus dienyahkan. Pengaturan skor, suap, dan praktik-praktik yang terkait harus dibasmi. Pengurus, pemain, wasit, dan siapa pun yang pernah terlibat harus dibawa ke meja hijau dan ditindak tegas. Tidak ada ruang untuk mereka yang selama ini telah menjadi 'mafia bola'.

Terkait dengan para pemain, hal mendesak yang perlu dipertimbangkan lebih saksama ialah soal kebijakan mengenai insentif. Secara sederhana, kita mengenal gaji, bonus, atau insentif material lainnya. Akan tetapi, sebagai sebuah langkah maju, pengurus PSSI yang baru bisa berpikir dan bertindak lebih jauh.

Usia emas pemain sepak bola ialah usia 20-an. Pemain yang masih berprestasi di usia 30-an pengecualian, yakni mereka yang betul-betul berhasil menjaga fisik dan stamina dengan baik. Para pemain belasan tahun ialah mereka yang tengah belajar dan digerakkan oleh motivasi berprestasi yang masih menggelora.

Pengurus PSSI bisa membuat semacam sistem insentif yang kompetitif dan berjangka panjang. Pijakannya ialah bahwa sepak bola bisa menjadi wahana karier seumur hidup. Jadi, sepak bola tidak lagi dipandang sebagai profesi sementara ketika fisik masih kuat atau bahkan musiman.

Pemain-pemain yang terbukti bertalenta dan berprestasi di usia belasan tahun, sebagai contoh, bisa diberi beasiswa olahraga, kuliah, dan sebagainya. Mereka yang berprestasi di usia emas juga tak dilepas begitu saja, seperti yang terjadi saat ini, yang akhirnya membuat karier mereka rapuh.

Seperti kita baca dalam sejarah hidup banyak pemain Eropa dengan karier yang konsisten, keterdidikan menjadi salah satu faktor kunci. Dengan pendidikan yang memadai, mereka mampu mengatur keuangan dan merancang karier setelah pensiun sebagai pemain. Pelatih-pelatih terbaik di sana saat ini, umpamanya, ialah pemain-pemain yang berhasil membangun visi jangka panjang dan terus hidup dalam sepak bola.

 

RR/MI