RADARRIAUNET.COM: Edirorial Media Indonesia, “Korupsi Diberantas dengan Retorika” (16/12) adalah kritik keras bagi bangsa ini dalam menyikapi praktek korupsi. Rakyat sudah nyaris mutung menyaksikan maraknya patologi korupsi di republik ini. Tidak heran, publik menyambut baik ketika
Presiden Joko Widodo seusai menghadiri pentas drama “Prestasi Tanpa Korupsi” di SMK 57 Jakarta (Senin 9/12)-- melontarkan akan menerapkan hukuman mati bagi koruptor jika rakyat menghendakinya. Namun iktikad tersebut hanya jargon, jika tak disertai ideologi antikorupsi yang konkret. Apalagi hukum kita melempem saat berhadapan dengan kasus-kasus korupsi besar.
Seperti sikap MA beberapa waktu lalu yang mengabulkan kasasi terdakwa kasus dugaan suap proyekPLTU Riau-1 Idrus Marham, yang semulanya divonis 5 tahun, akhirnya dikenakan “diskon” hukuman menjadi tinggal 2 tahun.Hukum masih sulit menajam untuk orang-orang besar atau berpengaruh seperti Idrus.
Kita tentu masih ingat, MA juga pernah membebaskan terdakwa kasus BLBI, Syafruddin Arsyad Tumenggung, yang terbukti merugikan keuangan negara sebesar Rp.4,58 triliun. Tidak itu saja, bekas Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman (kasus suap impor gulan), Patrialis Akbar (kasus dagang perkara), Otto Kaligus (kasus suap hakim) juga pernah menikmati “’diskon” hukuman dari MA.
Tak heran, Menurut International Corruption Watch(ICW) ada sekitar 101 narapidana kasus korupsi yang telah dibebaskan oleh MA. Deretan ironi hukum tersebut tentu akan menggerus keberanian moral para hakim di level bawah untuk menghukum berat para koruptor.
Sulit kelar
Bagaimanapun patologi korupsi di Indonesia akan sulit dimatikan, jika negara atau institusi hukum nihil membangun komitmen antikorupsi. Pertama, karena perilaku korupsi diperankanjustru oleh elite-elite politik, yang mestinya menjadi sentral teladan dalam bernegara. Merekaadalah elite masyarakat yang dalam piramida bernegara diekspektasikan memiliki keistimewaan dalam bersikap dan mengambil keputusan, terutama yang terkait dengan kepentingan publik.
Sayangnya semua itu hanya berujung litani. Kenyatannya, mereka sendiri yang menginisiatori sikap deviatif, tamak, mengejar kepentingan diri dengan mengorbankan rakyat yang mereka rayu di saat pemilu atau pilkada.Kedua, ini tidak lepas dari sistem politik kita yang kotor. Politik yang diharapkan menjadi arena mengejawantahkan politik bonum commune justru menjadi arena kurusetra kepentingan yang disuburi praktek transaksional dan konspirasional para ellitenya.
Ini bisa dillihat dari sistem penganggaran internal partai yang jauh dari transparansi, belum lagi proses kaderisasi yang tidak berbasis pada kualitas pengalaman dan track-record personal, tetapi didasarkan atas subyektifitas elite (karena fulus dan populer). Tidak ada standar terukuryang dibuat oleh partai soal bagaimana seorang kader dinominasikan menjadi calon kepala daerah.
Semuanya berada dalam ruang gelap yang menyesakkan nafas. Dalam kondisi sepertiini, sulit bagi kita membangun demokrasi yang substantif, selain demokrasi yang dikapitalisasi oleh para maling kapital yang “beranak-pinak” di setiap dimensi pemerintahan.
Ketiga, sistem hukum kita yang memang masih lembek dalam menghukum koruptor. Menurut ICW dari 1.053 perkara korupsi dengan 1.162 terdakwa sepanjang 2018, 918 terdakwa atau 79 persen divonis ringan yaitu antara 1 atau 4 tahun penjara. Betapa negeri kitamasih menjadi “humus” lebat bagi pertumbuhan korupsi.
Seiring itu pula, upaya untuk memproteksi banalitas korupsi di level elite politik terus dibangun dengan memanfaatkan jaringan oligarkis politik. Terbukanya pintu bagi politik dinasti dalam gelanggang kekuasaan kita akhir-akhir ini justru bisa menstimulasi lahirnya kekuasaan-kekuasaan baru yang dikelola secara pragmatis.
Ketika investasi politik hanya bertumpu pada distribusi pengaruh politik mengikuti alur familial semata, maka di situlah potensi kapitalisasi pengaruh atau kekuasaan secara ekslusif terjadi.
Parpol benahi sistem
Negara kita akan terus dicap sebagai “surganya” retorika antikorupsi jika parpol juga tak pernah tuntas menyetop praktek korupsi dan perburuan rente yang kelak bisa membuat negeriini berada di tubir kolaps. Karenanya, sebagai elemen yang sangat bertanggung jawab terhadap masa depan demokrasi dan pemberantasan korupsi di bangsa ini, parpol harus bisa menginjeksi spirit dan jbudaya politik yang berintegritas di dalam organ tubuhnya. Parpol wajib membenahi sistem organisasi dan tatakelola-nya, termasuk misalnya merancangdan membuat mekanisme kaderisasi atau pencalonan kepala daerah maupun legislatif yang berbasis pada indikator yang jelas, terukur dan transparan.
Termasuk serius membangun demokratisasi bersuara bagi para pengurusnya di dalam menentukan calon pejabat politik tanpa harus selalu menggantungkan diri pada keputusan otoritatif ketua umum-nya. Ini sangatmembantu untuk menghindarkan partai dari cengkeraman oligarki. Tidak lama lagi Pilkada 2020 akan dihelat. Ini saatnya untuk mengawal agar proses rekruitmen calon-calon kepala daerah oleh parpol tidak dibajak oleh kekuatan sistem yang korup dan pragmatis.
Karenanya, parpol mestinya setop menjadikan pertimbangan fulus dan popularitas sebagai “tiket masuk” seorang calon dalam pilkada. Itulah yang membuat biaya politik setiap pilkada sangat mahal yang kemudian memicu terjadinya korupsi di kalangan kepala daerah. Yang tidak kalah penting, harus bisa dipastikan lewat regulasi yang jelas, agar para mantan napi korupsi tidak boleh ikut dalam Pilkada 2020. Profil atau biodata mereka yang pernah tersangkut kasus korupsi harus disebarkan di berbagai TPS sebagai informasi vital bagi rakyat pemilih.
Kita sangat yakin, jika parpol mampu membangun tatakelola sistem yang antikorupsi secara sungguh-sungguh dan kontinu sejak sekarang, maka nantinya kader-kadernya yang ada di DPR, birokrasi, termasuk di daerah-daerah sebagai gubernur, bupati/walikota, pasti adalah kader-kader yang akan bekerja jujur dan profesional, mempraktekkan politik kemaslahatan secara setia dan sungguh-sungguh bagi Tuhan dan sesama (rakyat, bangsa dan negara), termasuk akan selalu mendukung dan memperjuangkan regulasi yang “membunuh” ruang hidup para koruptor.
Di sisi lain, sinergitas masyarakat dalam melawan praktek korupsi khususnya dalam momen pilkada tidak boleh hanya sebatas retorika, jargonistik semata. Masyarakat jangan hanya sebatas mencemooh korupsi (public disdain), tetapi lebih dari itu benar-benar melakukan penolakan secara nyata (public resistance) terhadap korupsi (Kumorotomo, 2018:47).
Rakyat misalnya harus berani menolak calon pemimpin yang mengandalkan sokongan politiknya pada fulus, sedangkan berantakan dalam hal integritas dan kapabilitas. Rakyat harus jadi pemilih kritis yang dewasa dan berakal sehat, agar masa depannya tidak terus berada di bawah “ketiak” kekuasaan yang korup.
RR/DRS/SND