RADARRIAUNET.COM: Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau membenarkan penampakan seekor harimau sumatera yang berkeliaran di dekat fasilitas perusahaan minyak Badan Operasi Bersama PT Pertamina (Persero) dan PT Bumi Siak Pusako (BOB Pertamina-BSP) di Kabupaten Siak, Riau.
Kepala BBKSDA Riau Suharyono di Pekanbaru, Senin, mengatakan lokasi terlihatnya harimau sumatera (panthera tigris sumatrae) tersebut berada di Taman Nasional Zamrud yang beririsan dengan wilayah kerja BOB Pertamina-BSP. Kawasan taman Nasional Zamrud merupakan salah satu lokasi habitat harimau yang ada di lansekap Kampar.
"Di kawasan Taman Nasional Zamrud adanya harimau pernah beberapa kali terlihat oleh warga maupun petugas BBKSDA atau petugas PT. BOB yang sedang bekerja di lapangan. Daerah yang sering terlihat biasanya disebut lintasan satwa yang berdekatan dengan pos BBKSDA, wilayah tersebut berada pada lokasi sumur zamrud 5 dan 6 yang berjarak kurang lebih 10 kilometer dari Kilometer 23," ujarnya.
Ia mengatakan video harimau sumatera yang "viral" pada awal Oktober ini sudah dilaporkan masyarakat ke BBKSDA Riau pada tanggal 25 Oktober 2019. Ia mengatakan petugas BBKSDA Riau langsung turun ke lapangan untuk melakukan pengecekan dan sosialisasi."Lokasi ini berjarak 5 kilometer dari kompleks perumahan PT. BOB, yang berada diluar taman Nasional," ujarnya.
Menurut dia, video yang viral saat ini berada di jalan poros km 23, sudah masuk dalam kawasan taman Nasional Zamrud. Menurut keterangan manajemen PT. Bob, lanjutnya, video diambil pada tanggal 1 Nov 2019.
Ia mengatakan pihaknya bersama perusahaan dan Pemkab Siak akan melakukan patroli bersama terutama untuk mencegah perburuan dengan melakukan pembersihan jerat. Selain itu, akan dipasang kamera tersembunyi untuk mengidentifikasi satwa dilindungi tersebut.
"BBKSDA bersama BOB dan Pemkab Siak akan segera memasang Camera Trap pada areal-areal tersebut, serta melakuan patroli bersama serta melakukan operasi sapu jerat," kata Suharyono.
Riau butuh satgas
Sementara itu, terpisah aktivis lingkungan dari Wildlife Crime Team (WCT) meminta pemerintah Indonesia khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membentuk satuan tugas atau Satgas yang fokus dalam penanganan konflik harimau sumatra dengan manusia di Provinsi Riau, karena terjadi eskalasi konflik yang tak terelakkan pada tahun 2019 ini.
Koordinator WCT, Osmantri, mengatakan untuk penanganan konflik harimau sumatra dengan manusia sebenarnya sudah ada peraturan yang jadi acuan, yakni Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor: P.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar. Namun, pedoman tersebut belum diikuti.
"Untuk penanganan konflik sendiri hingga saat ini belum terimplementasi dengan baik P.48 Tahun 2008, dimana daerah yang rawan atau potensial konflik harus bentuk satgas penanganan konflik. Nah, disini (Riau) ketika ada konflik, baru semua sibuk," kata Osmantri.
Ia mengatakan hal tersebut menanggapi konflik manusia dengan harimau sumatra (panthera tigris sumatrea) yang sudah menelan tiga korban jiwa pada tahun ini di Kecamatan Pelangiran Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Akibatnya, muncul keresahan dari warga Desa Tanjung Simpang di daerah tersebut yang menyurati kepala daerah setempat agar ada kebijakan merelokasi satwa dilindungi tersebut.
Menurut Osmantri, potensi konflik harimau dengan manusia di Kecamatan Pelangiran Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) sudah terjadi selama 10 tahun terakhir. Daerah tersebut merupakan habitat asli satwa dilindungi tersebut, dengan intensitas konflik yang tinggi, sehingga semestinya sudah sedari awal menjadi perhatian pemerintah."Catatan saya, (sejak) 2009 saja sudah mulai 'gentayangan' harimau masuk kampung atau setidaknya wilayah kelola masyarakat, dan warga juga sudah melaporkan," ujarnya.
Hanya saja penanganan secara komprehensif untuk mencari solusi tidak pernah ada. Masalah konflik tersebut, ujar dia, mirip seperti penanganan masalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau yang pembahasan seakan hilang setelah turun hujan."Tapi, ya, itu, (konflik harimau-manusia) sama dengan karhutla. Hilang asap, hilang pula cerita produktif untuk pengendalian karhutla," katanya.
Menurut dia, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau sebagai perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di daerah, harus memperjelas kapan rencana untuk mencari solusi konflik tersebut dilakukan, melibatkan siapa dan bagaimana mekanismenya.Osmantri menjabarkan setidaknya ada empat faktor yang perlu dicermati karena telah memicu konflik terjadi di Pelangiran maupun daerah lainnya di Riau.
Pertama, tata guna dan kelola pemanfaatan hutan yang besar diduga tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kesehatan lingkungan.
Kedua, pertumbuhan kebutuhan akan hunian manusia yang semakin bertambah membuat habitat satwa semakin sempit.
Ketiga, akses yang relatif mudah untuk mengakses kawasan sehingga memicu terjadinya eksploitasi hutan baik itu berupa kayu dan satwa di dalamnya.
Keempat, orientasi pengelolaan atau manajemen kawasan hutan belum komprehensif padahal sudah ada aturan yang mendukungnya.
RR/ant/zet