Jakarta: Harga minyak tergelincir pada perdagangan Selasa (9/4), waktu Amerika Serikat (AS). Pelemahan terjadi setelah Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia.
Selain itu, pelemahan harga juga terjadi akibat sinyal Rusia yang kemungkinan bakal kembali mengerek produksinya usai kesepakatan pemangkasan produksi dengan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) berakhir.
Disitat CNN Indonesia, Rabu (10/4/2019), harga minyak mentah berjangka Brent merosot US$0,49 menjadi US$70,61 per barel. Pelemahan terjadi usai harga Brent menyentuh level US$71,34 per barel, tertinggi sejak November 2018.
Pelemahan juga terjadi pada harga minyak berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$0,42 menjadi US$63,98 per barel. Selama sesi perdagangan berlangsung WTI sempat terdongkrak ke level US$64,79 per barel, tertinggi dalam lima bulan terakhir.
"Saya rasa, pemangkasan proyeksi pertumbuhan global oleh IMF merupakan hambatan terbesar yang dihadapi harga minyak berjangka hari ini," ujar Ahli Strategi Komoditi Senior RJO Futures Phil Streible di Chicago.
Pekan ini, IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2019 dari 3,5 persen di Januari lalu menjadi 3,3 persen. IMF juga mengungkapkan pertumbuhan ekonomi global bisa makin terseret akibat tensi perdagangan dan potensi proses hengkang Inggris dari Uni Eropa (British Exit/ Brexit) yang berantakan.
Pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh IMF merupakan kali ketiga sejak Oktober 2018. Hal itu menambah kekhawatiran terhadap penurunan konsumsi bahan bakar sehingga menahan kenaikan harga minyak mentah.
Harga minyak juga tertekan oleh Rusia yang memberikan sinyal ingin kembali mengerek produksinya dalam pertemuan OPEC Juni mendatang. Rusia merupakan negara non OPEC yang berpartisipasi dalam kesepakatan pemangkasan produksi sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) selama enam bulan sejak Januari 2019 lalu.
Keinginan Rusia untuk meningkatkan produksi dilakukan akibat menurunnya stok minyak mentah.
Pada Selasa (9/4), Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan Rusia tidak mendukung kenaikan harga minyak yang tak terkendali. Selain itu, tingkat harga saat ini sudah sesuai dengan keinginan Rusia.
"Kami siap untuk bekerja sama dengan OPEC dalam mengambil keputusan. Namun apakah keputusan itu berupa pemangkasan atau berhenti di level output sekarang, saya belum siap untuk mengatakannya," ujar Putin dalam konferensi Arctic di St Petersburg.
Selain itu, ancaman AS berupa pengenaan tarif terhadap ratusan produk Eropa juga menahan reli di pasar modal global, yang juga menyeret harga minyak berjangka. Kenaikan produksi dan persediaan minyak mentah AS juga terus membebani pasar minyak.
Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) memperkirakan rata-rata produksi minyak mentah AS bakal naik 1,43 juta barel per hari (bph) menjadi 12,49 juta bph pada 2019. Proyeksi tersebut meningkat dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 1,35 juta bph.
Kelompok pemain industri Institut Perminyakan Amerika (API) menyatakan stok minyak mentah AS naik 4,1 juta barel atau lebih tinggi dari ekspektasi sejumlah analis sebesar 2,3 juta barel.
API juga menyatakan persediaan minyak mentah di hub pengiriman Cushing, Oklahoma, turun 1,3 juta barel. Sementara itu, pengenaan sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela telah menambah imbas dari pemangkasan produksi OPEC terhadap pasokan global.
Selain itu, potensi pengetatan pasokan global juga terjadi akibat gangguan produksi di Libya akibat perang saudara. Saat ini, Libya yang juga merupakananggotaOPEC memompa sekitar 1,1jutabph.
RRN/CNNI