Jakarta: Harga minyak mentah berjangka dunia merosot tipis pada perdagangan Kamis (28/3), waktu Amerika Serikat (AS). Pelemahan cukup tajam sempat terjadi setelah Presiden AS Donald Trump menyuruh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk mengerek produksi demi menekan harga. Namun, dampaknya berlangsung surut sehingga harga minyak hanya turun tipis di akhir perdagangan.
Seperti sitat CNN Indonesia, Jumat (29/3), harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) turun US$0,11 menjadi US$59,3 per barel. Di awal sesi perdangan WTI sempat tertekan hingga ke level US$58,2 per barel sebagai respon pasar terhadap cuitan Trump. Trump menyatakan sangat penting untuk OPEC mengerek jumlah minyak yang mengalir mengingat rapuhnya pasar global.
Sementara, harga minyak berjangka Brent turun US$0,01 menjadi US$67, 82 per barel. Sama dengan WTI, di awal sesi perdagangan Brent sempat tertekan ke level US$66,54 per barel.
Harga minyak telah menguat lebih dari 25 persen sejak awal tahun. Secara kuartalan, WTI diperkirakan bakal mencatat kenaikan tertinggi sejak 2002. Untuk kedua harga acuan, kenaikan harga pada kuartal I 2019 akan menjadi yang terbaik sejak 2009. Penguatan utamanya disebabkan oleh kebijakan pemangkasan produksi yang dilakukan OPEC dan sekutunya atau OPEC+.
Sejak awal tahun ini, OPEC+ telah mengimplementasikan kebijakan pemangkasan produksi sebesar 1,2 juta bph.
"Cuitan Trump yang menyerang OPEC secara mendadak tidak memiliki signifikansi terhadap harga yang sama dengan pada saat itu merupakan fenomena yang baru," ujar Direktur Berjangka Mizuho Bob Yawger di New York.
Menurut Yawger, pasar melihat tindakan Trump sedikit usang.
Harga minyak juga mendapatkan dorongan dari pengenaan sanksi AS terhadap venezuela dan Iran. Gedung Putih telah membatasi ekspor minyak kedua negara.
Tiga sumber Reuters menyatakan, AS telah menginstruksikan perusahaan trading dan kilang di seluruh dunia untuk membatalkan kesepakatan dengan Rusia atau akan menerima sanksi, meskipun perdagangan tidak dilarang dalam sanksi yang diumumkan AS.
Selain sanksi AS, kondisi mati listrik telah mengganggu industri minyak Venzuela bulan ini. Sumber menyatakan, pelabuhan ekspor minyak utama Venezuela Jose dan empat upgrader minyak mentah yang diperlukan untuk mengubah minyak berat Venezuela ke kualitas ekspor sementara tidak beroperasi pekan ini.
Analis PVM Tamas Varga mengungkapkan jika pemangkasan produksi yang tidak direncanakan tetap terjadi maka harga minyak dapat menyentuh US$75 per barel seiring penurunan stok minyak.
Sementara itu, sinyal ketidakpastian pelaksanaan kebijakan pemangkasan produksi OPEC mulai mengemuka. Pasalnya, Arab Saudi kesulitan dalam meyakinkan Rusia untuk tetap berada di kesepakatan lebih lama.
Tiga orang sumber Reuters menyatakan Rusia kemungkinan hanya sepakat untuk memperpanjang kesepakatan selama tiga bulan. Sebagai catatan, kesepakatan pemangkasan produksi OPEC+ rencananya berlaku selama 6 bulan atau akan berakhir Juni mendatang.
Selain itu, kekhawatiran terhadap permintaan akibat pelemahan ekonomi telah membatasi kenaikan harga. Pelemahan ekonomi tersebut tak lepas dari perkembangan perang dagang AS-China.
Pemerintah China telah berkomitmen untuk membuat pasar keuangan negaranya lebih terbuka terhadap investor asing. Hal itu disampaikan bersamaan dengan kedatangan pejabat senior AS di Beijing untuk melanjutkan pembahasan terkait perdagangan antara kedua negara.
RRN/CNNI