Eks Kepala BPPN Didakwa Rugikan Negara Rp4,5 T soal BLBI

Administrator - Selasa, 15 Mei 2018 - 00:24:48 wib
Eks Kepala BPPN Didakwa Rugikan Negara Rp4,5 T soal BLBI
Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin, 14 Mei 2018. Cnni

Jakarta: Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung didakwa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

 

"Terdakwa telah melakukan perbuatan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya selaku ketua BPPN," kata jaksa penuntut umum Haeruddin saat membacakan surat dakwaan dan disaksikan media di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/5). 

 

Syafruddin didakwa telah menyalahgunakan wewenang saat menerbitkan SKL bersama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) saat itu, Dorojatun Kuntjoro Jakti, dan pemegang saham BDNI, Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih S. Nursalim.

 

Jaksa mendakwa Syafruddin telah menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijaminkan oleh dua perusahaan yang diyakini milik Sjamsul Nursalim yakni PT DCD dan PT WM. Tak hanya itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham.

 

Menurut jaksa, Sjamsul belum menyelesaikan kewajibannya untuk memperbaiki kesalahannya menampilkan piutang BDNI kepada para petambak untuk diserahkan kepada BPPN. Kesalahan itu membuat seolah-olah sebagai piutang lancar (misrepresentasi) yang dibuat Sjamsul.

 

Pada Februari 1998, Bank Indonesia lantas menyerahkan pembinaan dan pengawasan BDNI kepada BPPN. Kemudian, BDNI ditetapkan sebagai Bank Take Over (BTO). Kemudian, BDNI ditetapkan status sebagai Bank Beku Operasi yang pengelolaannya dilakukan oleh tim yang ditunjuk BPPN dan didampingi Group Head Bank Restrukturisasi pada 21 Agustus 1998. 

 

"Keputusan itu berdasarkan SK Ketua BPPN Nomor 43/BPPN/1998 tanggal 21 Agustus 1998, BDNI ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi (BBO)," ucap jaksa Haeruddin.

 

Atas status tersebut, BDNI lantas mendapatkan kucuran dana BLBI dari BPPN sebesar Rp 37.039.767.000.000 pada 29 Januari 1999. 

 

Selain itu, kucuran dana BLBI yang disalurkan ke BDNI setelah 29 Januari 1999 hingga 30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debit sebesar Rp5.492.697.000.000.

 

Namun, seiring berjalannya waktu, ditemukan empat penyimpangan penggunaan kucuran dana BLBI oleh BDNI.

 

Pertama, BDNI melakukan penyimpangan seperti transaksi pembelian valas yang dilakukan pada saat posisi devisa netto telah melampaui ketentuan yang berlaku. 

 

Kedua, BDNI melakukan penempatan baru dengan menambah saldo debet. 

 

"Selain itu, BDNI melakukan pembayaran dana talangan kepada kreditur luar negeri untuk menutupi kewajiban nasabah group terkait. Dan terakhir pemberian kredit rupiah kepada group terkait yang dananya digunakan untuk transaksi di pasar uang antar bank," ujar Jaksa.

 

BPPN melalui Tim Aset Manajemen Investasi (AMI) dibantu oleh beberapa financial advisor membuat neraca penutupan BDNI dan melakukan negosiasi dengan Sjamsul Nursalim dalam rangka menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS).

 

"Setelah dikalkulasi, diketahui jumlah kewajiban Sjamsul sebesar Rp47,2 triliun yang dikurangi nilai aset sebesar Rp 18,8 triliun. Maka, besar JKPS terhadap Sjamsul sejumlah Rp28.4 triliun," kata Jaksa.

 

Melihat hal itu, Sjamsul menyepakati akan membayar tunai sebesar Rp1 triliun dan melakukan penyerahan aset senilai Rp27,4 triliun kepada perusahaan yang dibentuk oleh BPPN untuk melakukan penjualan aset.

 

Saat dilakukan audit berupa Financial Due Dilligence (FDD) disimpulkan bahwa kredit petambak di PT DCD dan PT WM atas piutang Rp 4,8 triliun kepada BDNI tergolong sebagai kredit macet.

 

Menanggapi hal itu, dilaksanakan rapat bersama antara BPPN dengan KKSK yang membahas Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) pada 17 Maret 2004. 

 

Akan tetapi, Syafruddin sendiri saat itu tak memberikan laporan mengenai penyelesaian masalah di PT DCD mengenai misrepresentasi yang dilakukan oleh Sjamsul terhadap nilai utang petambak plasma PT DCD dan PT WM sebesar Rp 4,8 triliun.

 

Tak berhenti sampai di situ, Syafruddin pun tak melaporkan ada kewajiban yang harus ditanggung oleh Sjamsul atas misrepresentasi yang dilakukannya tersebut.

 

Syafruddin sendiri juga tidak melaporkan telah mengadakan pertemuan dengan pihak Sjamsul yang pada akhirnya merubah status misrepresentasi menjadi tidak misrepresentasi.

 

"Jadi, KKSK mengeluarkan keputusan No.01/K.KKSK/03/2004 yang isinya antara lain menyetujui pemberian bukti penyelesaian sesuai dengan perjanjian Pemegang Saham dengan BPPN, berupa pelepasan dan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Inpres 8 Tahun 2002 terhadap Sjamsul Nursalim," kata Jaksa.

 

BDNI pun dikategorikan sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum atau transaksi yang tidak wajar yang menguntungkan Sjamsul Nursalim. 

 

Angka Rp4,58 triliun kerugian negara diketahui berdasarkan dari Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif yang dilakukan BPK pada Agustus tahun lalu. 

 

Angka ini membengkak setelah sebelumnya kerugian negara dalam kasus ini ditaksir sejumlah Rp3,7 triliun. 

 

Atas dakwaan jaksa tersebut, Syafrudin sepakat untuk mengajukan eksepsi atau nota keberatan. 

 

"Kami akan melakukan eksepsi dengan kuasa hukum kami Yang Mulia," ucapnya.

 

Atas perbuatannya, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana.

 

Ugo/Cnni/RRN