Jakarta: Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Demi Kepentingan Perpajakan pada 8 Mei 2017 lalu. Ini merupakan tanda keseriusan Indonesia untuk memasuki era baru pertukaran informasi keuangan otomatis antar negara (AEoI).
Tak lama setelahnya, pemerintah sempat 'galau' dalam menentukan besaran saldo simpanan minimal nasabah perbankan yang bisa diakses oleh otoritas pajak. Awalnya, pemerintah menetapkan saldo minimal Rp250 juta, tetapi belakangan diubah menjadi Rp1 miliar dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 73/PMK.03/2017 pada 12 Juli 2017 lalu.
AEoI membawa harapan bagi Indonesia untuk menggali potensi pajak dari penghasilan Warga Negara Indonesia yang selama ini banyak disembunyikan di luar negeri. Pemerintah menaksir jumlahnya mencapai lebih dari Rp2.000 triliun. Namun, di sisi lain, terbukanya data perbankan menimbulkan kekhawatiran akan memengaruhi kepercayaan nasabah dan menurunkan kinerja industri perbankan.
Awak media berkesempatan untuk berbincang dengan Parwati Surjaudaja, Direktur Utama PT Bank OCBC NISP Tbk. Sebagai orang nomor satu bank yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh asing, Parwati akan membagikan pengalamannya sebagai bankir dan pandangannya terhadap AEoI. Berikut petikan wawancara dengan wanita yang tahun lalu masuk sebagai salah satu dari 50 wanita berkuasa di Asia versi majalah Forbes:
Berapa lama sudah menjadi bankir?
Sudah 27 tahun. Awalnya, saya tidak terpikir untuk masuk bank. Saya tadinya di konsultan. Saya suka di konsultan karena di beragam industri. Project-nya bermacam-macam, mulai dari membuat strategic planning, procedure, hingga membuat IT program, segala macam. Jadi, tidak pernah bosan belajar terus.
Kemudian, ada Pakto (Paket Oktober) 1988 yang membuat perbankan sangat dibuka dan sangat kompetitif. Waktu itu orang tua minta untuk membantu. Namanya orang tua minta, sebagai generasi muda saya mengikuti saja.
Waktu itu, saya sempat ragu juga. Sepertinya banking boring (membosankan) ya? Penuh aturan, kaku, membosankan, tetapi enggak sih. Dinamikanya luar biasa, bahkan setelah 27 tahun.
Sekarang saya suka ngomong dengan teman-teman, 27 tahun kita atau 20 tahun kita jangan menjadi beban. Jangan karena kita merasa sudah lama, kita merasa paling tahu dan tidak merasa perlu belajar lagi. Jangan merasa bahwa ke depan, what I'm doing right will be ok. Karena, ke depan itu perubahan begitu banyak. Kalau kita terlalu over-confidence, malah itu bisa menjadi beban karena perubahannya begitu mendasar, sangat besar, bukan hanya cepat saja.
Hal paling disukai sebagai bankir?
Dinamikanya. Karena kita ternyata belajar banyak sekali. Kita kan membiayai nasabah dari berbagai industri. Kita belajar terus. Belum lagi coverage-nya tidak hanya perbankan. Kita juga harus tahu 'Kalau ini lagi begini dampaknya ke perbankan apa? Kalau sekarang pemerintah lagi begini, dampaknya ke perbankan apa?'
Jadi, luas sekali.
Pernah terpikir menjadi Direktur Utama? (Catatan: Parwati menjabat sebagai Presdir Bank OCBC-NISP sejak 16 Desember 2008)
Sama sekali tidak, karena dulu tidak ada role model perempuan CEO, perempuan menjadi pemimpin. Saya juga kebetulan anak keempat jadi tidak pernah bermimpi menjadi pemimpin juga. Pokoknya, prinsipnya do the best. Apapun hasilnya, wallahualam. Jadi, tidak pernah terpikirkan menjadi CEO.
Apa yang membawa Ibu bisa mencapai posisi ini?
Sederhana saja, yaitu lakukan semuanya dengan niat baik. Tujuan kita apa, kemudian lakukan yang terbaik, terus berusaha, dan pantang mundur. Setelah itu, apapun hasilnya kita akan rela, menerima dan kita tidak ada penyesalan. Kita tidak ada ‘aduh, coba, kalau saya dulu begitu'. Kita juga tidak menyalahkan siapa-siapa. Yang penting, kita sudah mencoba yang terbaik.
Apa yang muncul di benak Ibu ketika pertama kali mendengar tentang AEoI?
Peluang. Kenapa? Karena negara seperti Indonesia, selama ini paling dirugikan karena banyak dana yang di luar. Dana banyak di luar karena kekhawatiran masalah keamanan kah? Kepastian hukum kah? Jadi, kita banyak dirugikan.
Begitu mendengar akan ada AEoI, negara seperti Indonesia sangat luar biasa peluangnya. Ini merupakan kesempatan yang sangat baik. Sekarang, kalau kita lihat dari hasil tax amnesty hanya 14 persen yang sudah direpatriasi kan? (Catatan: Komitmen dana repatriasi hingga program amnesti pajak berakhir sebesar Rp147 triliun atau 14,7 persen dari target pemerintah, Rp1.000 triliun).
Jadi, kita sekarang jangan hanya konsentrasi kepada dana yang sudah direpatriasi akan diapakan supaya bertahan setelah tiga tahun, tetapi bagaimana kita bisa menarik atau menggoda 86 persen lainnya supaya dananya kembali ke Indonesia.
Bagaimana caranya? Kita harus membuat industri keuangan di Indonesia ini kompetitif dibandingkan negara lain. Produk kita masih plain vanilla, pelayanan kita mungkin masih kurang dengan yang lain. Jadi, bagaimana caranya? Research kita juga bagaimana?
Semua itu harus dibangun bersama-sama, tidak bisa sendirian. Tidak bisa perbankan saja, tetapi juga harus bersama dengan lembaga jasa keuangan lainnya dan regulator juga Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan otoritas pajak juga harus bersamaan (membangun).
Tetapi, AEoI ini untuk Indonesia merupakan peluang yang luar biasa.
Waktu pemerintah mengeluarkan Perppu 1/2017, apakah ada kekhawatiran khusus dari Bank OCBC-NISP yang 85,1 persen sahamnya dimiliki oleh Bank OCBC Singapura?
Maksudnya khawatir ada dana yang keluar? Kami sudah melihat pergerakannya. Kalaupun dana ada yang keluar, itu bukan karena peraturan itu, tetapi lebih ke concern mengenai kondisi Indonesia. Jadi, rasanya bukan karena Perppu, kami yakini tidak.
Kenapa? Sekarang yang namanya AEoI kan bukan hanya di Indonesia, di seluruh dunia sama. Jadi, nasabah mau pindah ke manapun kasarnya sama saja treatment-nya, bahkan lebih susah lagi.
Kami kan kebetulan tahu pergerakan di Singapura seperti apa, di Hong Kong seperti apa. Jadi, kami tidak khawatir karena di manapun sama.
Terkait besaran saldo nasabah yang harus dilaporkan sebesar Rp1 miliar, berapa banyak nasabah OCBC-NISP yang akan kena dampak?
Kami coba hitung secara kasar, kalau nasabah individual itu sekitar 7 ribu nasabah yang akan dilaporkan. Kalau entitas, saya kira sekitar 30 ribu hingga 40 ribu-an nasabah yang akan dilaporkan. Kalau total nasabah kami sekarag sudah lebih dari 1 juta nasabah.
Apakah kebijakan pemerintah mengubah batas saldo dari Rp250 juta menjadi Rp1 miliar mempermudah perbankan?
Jauh lebih mudah. Kita mulai pelan-pelan dari Rp1 miliar dulu nanti bisa saja diturunkan atau bisa saja dari satu data informasi nasabah (CIF) di satu bank, nanti bisa berdasarkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), kan bisa-bisa saja. Jadi, perlu familiarity dulu.
Sejauh ini, apakah sudah ada nasabah yang menanyakan perihal AEoI?
Sepertinya perlu sosialisasi yang lebih baik untuk pelaksanaan aturan ini karena banyak sekali pertanyaan. Misalnya, nasabah-nasabah yang relatif besar menanyakan ‘Sudah tax amnesty kok ada AEoI? Bukannya kita sudah transaparan tetapi kenapa kita masih harus diobok-obok lagi? Maksudnya apa?’
Kalau kita lihat, peraturan yang ada sekarang ujung-ujungnya alami. Alami, dalam arti kata sudah semestinya karena di dunia sudah transparan.
Kalau kita berbicara soal rahasia bank, di negara lain itu rahasia bank tidak rahasia untuk kepentingan perpajakannya. Wong, pemerintah, kok rahasia? Jadi seharusnya kita sikapi positif saja.
Tetapi, sekarang orang mungkin tidak tahu. Misalnya, datanya nanti dikemanakan? Padahal, otoritas pajak bisa datang dan mengatakan bahwa kerahasiaan data pasti terjamin dan orang pajak pun kalau misalnya membocorkan ada hukumannya.
Jadi, sosialisasi ini harus bisa membangun kepercayaan dan keyakinan masyarakat bahwa dengan keterbukaan informasi ini pun tidak ada akses yang berlebihan. Selama sudah transparan, sudah tax amnesty, kita jalan dengan baik, tidak masalah.
Kemudian, pajak itu bukan hak pemerintah. Pajak itu kontribusi masyarakat untuk dipakai membangun negara. Selain kita confidence bahwa pajak akan transparan, akan fair, dan accountable, uangnya ini dijadikan apa? Apa manfaatnya bagi masyarakat? Kalau kembali ke masyarakat, semua juga akan dengan rela.
Apakah ada masalah terkait pelaksanaan teknis di perbankan?
Kalau di kami, kami diuntungkan karena kami ada dengan group (Group OCBC Singapura). Di group sudah duluan untuk masalah Common Reporting Standard (CRS).
Jadi, kami sudah lebih familiar dengan yang mana yang dilaporkan, cara pelaporannya, karena kami sudah lebih duluan. Waktu keluar aturan pelaporannya, CRS-nya sama. Jadi, kami tidak masalah, tapi saya tidak kebayang kalau yang lain.
Bagaimana Ibu melihat prospek industri perbankan tahun ini?
Sampai terakhir, komposisi dana perbankan Indonesia dibandingkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia itu masih di bawah 40 persen, negara-negara tetangga sudah ada yang 100 persen. Kita harapkan dengan AEoI ini perbankan diuntungkan karena dananya akan kembali dan dikelola di sini.
Jadi, kalau ditanya bagaimana industri perbankan di tahun 2017, kami selalu optimistis terus. Karenanya, kami tidak merevisi Rencana Bisnis Bank (RBB) meskipun di semester 1 relatively lebih lambat dari ekspektasi, namun kami percaya seharusnya akan baik. Kuncinya adalah confidence. Kita adalah NKRI, yuk sama-sama kita bangun negara kita ini.
Sekarang banyak sekali peluang, bukan hanya AEoI, tetapi juga ada Base Erosion on Profit Shifting (BEPS) untuk perusahan-perusahaan. BEPS itu dampaknya juga akan sangat menguntungkan bagi Indonesia.
Kalau misalnya dulu orang melakukan trade finance melalui Singapura atau melalui Hong Kong, ke depan, kami mulai melihat behaviour (perilaku) nasabah mulai berubah.
Kalau dulu orang harus ekspor atau impor barang Letter of Credit (L/C) dari Singapura, sekarang tidak lagi. Sekarang L/C-nya langsung dari negara pengirimnya. Itu efek BEPS, yang selama ini belum ter-expose. Sekarang, kita masih ingin melihat untuk Indonesia impact BEPS-nya seperti apa ke depan.
Cnni/bir