RADARRIAUNET.COM - Tuntutan menuju ke arah negara hukum dan demokrasi menjadi impian setiap negara atau paling tidak impian para teknokrat dalam negara tersebut. Tetapi, harus disadari, bahkan seorang ahli demokrasi sekelas Gramschi pun mengatakan bahwa negara demokrasi seperti yang diidealkan tidak akan pernah ada. Di samping itu, hukum sendiri adalah entitas yang bermuka dua. Di satu sisi, ia dapat menjadi senjata bagi rakyat untuk melindungi hak asasi manusia yang mereka miliki. Tapi, di sisi lain, hukum juga menjadi alat bagi penguasa untuk melegitimasi tindakan mereka yang sesungguhnya melanggar nilai-nilai etika.
Keberadaan calon tunggal menimbulkan beberapa masalah, pengaturan dalam UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang mengharuskan adanya minimal dua orang calon kepala daerah di tiap daerah menimbulkan kebuntuan. Ada beberapa daerah menjelang pilkada serentak 2015 lalu yang hanya memiliki satu orang calon. Jika sampai tanggal penutupan pendaftaran masih tetap satu orang, masa pendaftaran akan diperpanjang. Tetapi, apabila masih tetap satu orang, pilkada akan diundur hingga periode berikutnya. Padahal, pada periode mendatang masih tidak ada jaminan calon kepala daerah yang mendaftar akan lebih dari satu orang. Terang saja hal ini menimbulkan kebuntuan.
Akhirnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan MK No 100/PUU-XIII/2015 yang menurut sebagian pihak memutus kebuntuan yang selama ini terjadi. Dengan putusan MK tersebut, calon tunggal dapat tetap mengikuti pilkada serentak, yaitu dengan menyediakan gambar kosong di sebelah foto calon tunggal dalam kertas suara. Melalui sistem ini, pilkada serentak pada 2015 lalu dilangsungkan dengan lancar.
Masalah lain Menjelang pilkada serentak Februari 2017 mendatang, kekhawatiran para ahli terkait dinamika calon perseorangan ini mencuat. Keberhasilan keputusan MK dalam memecah kebuntuan pada pilkada serentak 2015 lalu ternyata justru menjadi momok yang dapat melumat sendi-sendi demokrasi Indonesia. Ketentuan calon tunggal ini dimanfaatkan oleh beberapa bakal calon kepala daerah dengan menguasai seluruh suara partai politik di daerahnya. Sehingga, tidak ada partai politik yang dapat mengusung pasangan calon kepala daerah lain. Kalaupun ada bakal calon lain yang berminat menjadi kepala daerah, dia akan kesulitan mencari perahu (partai politik) yang akan mengusungnya. Sementara, maju lewat jalur perseorangan dengan syarat yang begitu berat bukanlah alternatif mudah.
Secara politis, seorang bakal calon kepala daerah yang memiliki modal besar dalam bursa pencalonan dapat saja membeli seluruh suara partai politik di daerahnya sehingga dia akan menjadi calon tunggal di daerah yang bersangkutan. Berdasarkan putusan MK, dengan dibolehkannya calon tunggal, dapat dikatakan secara otomatis calon tersebut akan terpilih. Tentu saja hal ini dapat membahayakan sistem demokrasi yang masih terus dibangun di Indonesia.
Tawaran solusi
Di tengah kondisi kesadaran politik dan demokrasi seperti saat ini, keberadaan calon tunggal dalam pilkada tidaklah tepat. Pasalnya, hal ini akan sangat berpotensi dimanfaatkan oleh orang-orang menjadikan kekuasaan sebagai orientasi utama. Oleh karena itu, penulis menawarkan untuk tetap mempertahankan syarat minimal dua pasangan calon, dengan beberapa tawaran perbaikan agar tidak terjadi kebuntuan.
Pertama, yaitu dengan meringankan syarat calon perseorangan. Dengan adanya calon perseorangan ini, anggota masyarakat yang berminat menjadi kepala daerah tidak disulitkan mencari perahu terlebih dahulu. Selama ini, meskipun keran calon perseorangan telah dibuka, dengan syarat yang begitu berat sangat menyulitkan para calon untuk melengkapi persyaratan.
Kedua, yaitu dengan mewajibkan partai politik yang memiliki suara di DPRD untuk mengusung pasangan calon. Bagi partai politik yang tidak mau mengikuti aturan tersebut, akan diberikan sanksi tidak boleh mengikuti kontestasi pilkada pada periode berikutnya. Hal ini sangat memungkinkan, mengingat salah satu tujuan partai politik adalah untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Maka, dengan maju dalam pilkada ini, setidaknya telah ikut berkontribusi dalam meningkatkan kecerdasan politik masyarakat.
Partai politik adalah salah satu garda terdepan negara demokrasi. Oleh karena itu, kita berharap agar elite-elite partai masih tetap berorientasi pada kepentingan bangsa jangka panjang. Tidak tergiur oleh rayuan-rayuan kekuasaan sesaat yang terus-menerus memosisikan rakyat sebagai korban nafsu politik.
Despan Heryansyah
Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII Yogyakarta dan Peneliti di Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII/rol