RADARRIAUNET.COM - Meski saat ini Indonesia merupakan eksportir gas nomor 3 dunia, PT Pertamina (Persero) memperkirakan Indonesia akan menjadi net importir gas bumi mulai tahun 2030.
"Ini memperlihatkan bagaimana ada perubahan sutuasi. Kita salah satu eksportir LNG terbesar di dunia di tahun 1980-an 1990-an, dan kita harus terima kalau kita akan menjadi importir di tahun 2030," kata Direktur Gas dan EBT Pertamina, Yenni Andayani, dalam sambutannya saat membuka IndoPIPE 2016 di Hotel Raffles, Jakarta, Selasa (30/8/2016).
Bukan hanya Indonesia, negara-negara di kawasan Asia Tenggara juga akan menjadi net importir gas di 2030. "ASEAN akan berubah dari net eksportir ke net importir di 2030. Impor untuk ASEAN akan sama seperti India dan Korea. Dua negara itu sudah mulai impor LNG, di mana Korea mulai impor dua dekade lalu sedangkan India mungkin baru satu dekade lagi," paparnya.
Situasi ini harus segera disadari, dan Indonesia perlu melakukan berbagai persiapan. "Indonesia harus acknowledge that. Kalau kita acknowledge, kita harusnya bisa cari solusinya. Mungkin saja bisa jadi masalah karena kita nggak tahu solve isu ini seperti apa," ucapnya.
Persiapan yang dimaksud Yenni adalah perlunya pembangunan infrastruktur-infrastruktur untuk menerima gas impor, misalnya kapal Floating Storage and Regasification Unit (FSRU), Terminal Receiving LNG and Regasification, dan sebagainya.
"Sekarang kita lihat bagaimana ASEAN bersiap-siap untuk menjadi negara importir. Sebagian dari mereka sudah mulai bangun infrastruktur LNG. Ini tantangan yang besar, Indonesia mungkin ada tiga infrastruktur yang akan datang seperti FSRU Jawa Barat, Lampung, dan Aceh. Ada lagi rencana untuk nambah FSRU, di Banten receiving terminal dan di Jawa Tengah," ungkap Yenni.
Infrastruktur-infrastruktur ini harus mulai dibangun dari sekarang. Negara-negara tetangga Indonesia di Asia Tenggara pun sudah mulai agresif membangun infrastruktur penerimaan LNG.
"Kita harus segera agresif, melihat Thailand. Vietnam, hingga Filipina. Kita harus siap menghadapi kompetisi. Kalau semua negara ASEAN membangun infrastruktur gas dalam waktu bersamaan, untuk mendapatkan kontraktor adalah hal yang perlu kita pikirkan. Adalah sebuah kepentingan bagi kita untuk membangun fasilitas sendiri," tegas Yenni.
Sebagai informasi, dalam neraca gas bumi yang disusun Kementerian ESDM, Indonesia butuh impor gas sebanyak 1.777 bbtud pada 2019, 2.263 bbtud pada 2020, 2.226 bbtud di 2021, 1.902 bbtud tahun 2022, 1.920 bbtud di 2023, 2.374 bbtud pada tahun 2024, dan 2.304 bbtud di 2025.
Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja, mengungkapkan impor harus dilakukan mulai 2019 karena kebutuhan gas domestik terus meningkat, sementara hampir separuh produksi gas Indonesia sudah terikat kontrak untuk diekspor ke luar negeri.
Sebagai konsekuensi dari adanya impor gas, Indonesia harus menyiapkan berbagai infrastruktur, terutama Floating Storage and Regasification Unit (FSRU). Sebab, gas yang diimpor tentu berbentuk gas alam cair (Liquid Natural Gas/LNG) yang harus ditampung dan diregasifikasi lagi agar dapat digunakan untuk industri, listrik, dan pabrik pupuk.
Saat ini Indonesia baru memiliki 2 FSRU, yaitu FSRU Lampung dan FSRU Jawa Barat. Bila FSRU dan infrastruktur lainnya tak segera disiapkan, gas impor tak bisa masuk, industri di dalam negeri bakal kekurangan gas pada 2019.
dtc/fn/radarriaunet.com