Padat Program, Nelayan di Muara Karang Sebaiknya Tidak Dipindahkan

Administrator - Jumat, 24 Juni 2016 - 15:48:11 wib
Padat Program, Nelayan di Muara Karang Sebaiknya Tidak Dipindahkan
Aktivitas reklamasi masih tetap berlangsung di Pulau G, yang terletak di muka bibir pantai Muara Karang di sebelah barat Pantai Mutiara, Kamis (14/4/2016). Kegiatan masih berlangsung dengan melibatkan berbagai alat berat dan beroperasinya tongkang-tongkan

RADARRIAUNET.COM - Pengembangan reklamasi Teluk Jakarta terus mengundang polemik. Tak terkecuali dari para akademisi, pemerhati lingkungan, dan pengamat perkotaan.

Dari studi kasus 'Reklamasi Pesisir Indonesia dan National Capital Integrated Coastal Development' (NCICD) di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Selasa (21/6/2016), terungkap rekomendasi bahwa nelayan Muara Karang sebaiknya tidak dipindahkan.

Pasalnya, nelayan dan kawasan Muara Karang memiliki kepadatan program cukup tinggi plus tempat terjadinya berbagai kegiatan yang beragam
"Karena itu, saya menyarankan sebaiknya nelayan Muara Karang tidak dipindahkan demi reklamasi," ujar pendiri Rujak Center for Urban Studies, Marco Kusumawijaya.

Menurut Marco, kepadatan program merupakan bagian dari tata ruang. Selain kepadatan program, juga ada kepadatan penduduk, dan kepadatan volume.

Kepadatan penduduk dilihat dari jumlah penduduk. Sementara kepadatan volume dilihat dari jumlah ruang terbangun. Adapun kepadatan program lebih kepada kegiatan yang dilakukan penduduk di suatu area.

Marco mencontohkan, perbedaan kepadatan Gedung LIPI dan kepadatan permukiman nelayan di Muara Karang, Jakarta Utara. "Di LIPI kan tidak ada orang berdagang, tidak ada ibu-ibu yang sambil gendong anak, menggoreng pisang depan rumah, tidak ada nenek-nenek yang bekerja di outsourcing," ujar Marco. Kalau dilihat dari kepadatan program, menurut Marco, di Gedung LIPI berisi kepadatan ilmu pengetahuan tertinggi di seluruh Indonesia.

Namun, kepadatan program Gedung LIPI tidak beragam dan cenderung didominasi oleh pengembangan ilmu pengetahuan tanpa adanya kegiatan ekonomi dan sosial.

Kondisi di Muara Karang terjadi sebaliknya. Kepadatan program di daerah ini cukup tinggi karena terjadi berbagai kegiatan yang berbeda-beda.

Ia menambahkan, meski beragam, kegiatan tersebut cukup luar biasa karena terjadi di rumah-rumah yang sering disebut permukiman kumuh. Dengan luas 12 meter persegi, rumah-rumah warga Muara Karang menjadi tempat kegiatan reproduksi, sosial, dan ekonomi. Kegiatan ekonomi ini misalnya, memasak dan menjualnya di depan rumah.

"Ketika orang dipindahkan dari perumahan nelayan di tepi pantai ke 30 kilometer di Rawa Bebek, apa yang dilakukan kalau bukan menjadi nelayan?" sebut Marco.

Meski tidak semuanya berprofesi sebagi nelayan, tambah Marco, warga-warga Muara Karang melakukan banyak hal dengan berdagang ikan atau mungkin mengangkut es kepada nelayan.

Ketika dipindahkan, mereka harus memulai lagi dari nol. Menurut Marco, hal ini yang disebut dengan pemiskinan atau proses memiskinkan sejumlah orang.

Terlebih, jika alasan pemindahan ini adalah karena pembangunan reklamasi. Akibat pembangunan pulau-pulau buatan tersebut, para nelayan dikhawatirkan tidak bisa melaut kembali dan mencari nafkah seperti biasanya.


kps/fn/radarriaunet.com