Jakarta (RRN) - Intervensi spesifik (pencegahan langsung) yang dilakukan oleh sektor kesehatan tak cukup untuk mencapai hasil maksimal dalam perbaikan gizi. Pernyataan ini disampaikan Menteri Kesehatan yang mengklaim dibutuhkan intervensi sensitif (tidak langsung) oleh sektor non-kesehatan agar masyarakat Indonesia terbebas dari ancaman gizi buruk.
Sektor non-kesehatan itu diantaranya adalah peningkatan produksi pertanian untuk mendukung ketahanan pangan, perlindungan sosial untuk mengentaskan kemiskinan melalui Program Keluarga Harapan (PKH), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), penyediaan air bersih dan sanitasi, dan program pemberdayaan perempuan.
"Intervensi gizi sensitif sudah terbukti mampu berkontribusi sampai 70 persen untuk keberhasilan perbaikan gizi masyarakat, terutama untuk penurunan angka stunting (tubuh pendek)," kata Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek pada pembukaan Puncak Peringatan Hari Gizi Nasional ke-56 di Jakarta kemarin.
Nila mengharapkan terciptanya kolaborasi yang efektif dari semua kementerian dan lembaga terkait agar sasaran global tahun 2025 dapat terwujud.
Saat ini wilayah Indonesia mengidap akut-kronis gizi buruk. Hanya 9 kabupaten/kota yang dapat dikategorikan bebas gizi buruk, sisanya 63 daerah tergolong akut, 20 wilayah berstatus kronis, dan yang terparah kategori akut-kronis berjumlah 404 kabupaten/kota.
Secara total, balita yang menderita gizi buruk di Indonesia sebanyak 3.8 persen dan gizi kurang sebesar 14.9 persen. Sementara, 3.7 persen tergolong sangat kurus dan 8.2 persen masuk kategori kurus. Sedangkan, 10.1 persen digolongkan sangat pendek dan 18.9 persen dikategorikan pendek. Penderita gizi kurang terbanyak berada di Sulawesi Tenggara, balita pendek terbanyak di Nusa Tenggara Timur, dan balita kurs di Papua.
CNN/ RRN