JAKARTA (RRN) - Beberapa hari lalu, di sebuah acara makan siang bersama beberapa kawan, saya mengatakan, betapa negara ini tidak pandai menghargai orang-orang hebat dan berjasa yang dimiliki negeri ini. Lantas saya pun menyebut satu nama untuk memberi contoh manusia luar biasa yang tidak memperoleh penghargaan yang layak. "Drs Suyadi alias Pak Raden adalah salah satu contohnya," kata saya.
Lalu, saya pun bercerita saat saya mendokumentasikan beliau secara audiovisual di rumah kontrakannya di daerah Jakarta Timur pada tahun 2005, beberapa hari sebelum beliau menerima Anugerah Kebudayaan dari pemerintah. Saya tercenung cukup lama di ruang tamunya yang berantakan.
Mengunjungi rumah kontrakannya saat itu, di Jalan Kebon Nanas I/22, Jakarta Timur, rasanya negeri ini telah berlaku "kejam" kepadanya. Bayangkanlah, orang dengan talenta yang luar biasa dalam bidang kepenulisan, melukis, menggambar, mendongeng, membuat film, tetapi hidupnya masih jauh dari yang disebut makmur.
Tak ada barang mewah di rumah itu. Di ruang tamu cuma tampak pesawat televisi 14 inci. Lampu yang biasanya menerangi wajahnya kala ia merias wajahnya menjadi Pak Raden yang berkumis tebal dengan alis menjulang ke atas itu pun telah mati. Sementara itu, lampu penerangan di rumah tersebut memaksa pengguna kamera manual harus menurunkan speed-nya hingga pada angka 2 (dua) saat memotret.
Di rumah kontrakannya yang persis berseberangan dengan pasar tradisional itu, Drs Suyadi tinggal bersama Nanang. Namun, begitulah, kendati ia memiliki seorang pembantu, tampak betul jika rumah tinggal itu tak pernah mendapat sentuhan dari seorang perempuan. Ya, hingga usia senja, tiada perempuan berada di sampingnya. Barangkali, memang begitulah suratan hidup Suyadi. Secara berseloroh, ia mengatakan, "Saya ini joko tuo sing ora payu rabi (jejaka tua yang tak laku kawin)."
Lihatlah seisi ruangan di rumah itu. Di ruang tamu, ruang makan, kamar, penuh dengan lukisan, sketsa, boneka, kertas yang berserakan, bekas cat, buku-buku, dan… kucing. Yang terakhir ini adalah makhluk "buangan" para tetangga yang sudah bosan dengan hewan piaraan itu. "Ada sekitar 20, hasil 'sumbangan' para tetangga," kata Suyadi perihal hewan piaraannya itu.
Dia mengatakan, para tetangga itu biasanya mencemplungkan kucing-kucing tersebut melalui pagar rumah tinggalnya. Setelah diberi makan oleh Nanang, biasanya kucing-kucing itu betah tinggal di sana, bersama Suyadi dan Nanang. Zaman demi zaman telah dilalui oleh Suyadi. Pada tiap zaman itu, Suyadi selalu menjumpai dunia anak-anak yang berbeda. Namun, katanya, kendati berbeda, anak tetaplah anak. Makhluk kecil yang harus disirami dengan kasih sayang. Lewat mendongeng dan buku-buku cerita hasil karyanya itulah, Suyadi menyirami jiwa anak-anak Indonesia.
Pemandangan rumah yang berantakan dan tak terawat ternyata masih terlihat beberapa tahun kemudian saat beliau telah pindah rumah tinggal. Rumah tinggalnya yang terakhir berada di gang sempit di daerah Petamburan, Slipi. Rumah bernomor 27 di RT 003 RW 04 gelap dan kusam. Halamannya yang tidak seberapa luas dipenuhi kaleng cat dan sisa-sisa kayu untuk membuat boneka. Kesan penuh juga ada di ruang tamu. Berbagai lukisan berekamkan cerita-cerita pewayangan dan boneka-boneka ciptaan Suyadi si Pak Raden memenuhi ruang itu.
Kini Pak Raden telah pergi, membawa serta semua cerita bahagia dan duka. Bahagia lantaran dia adalah sahabat kanak-kanak sepanjang masa. Pedih karena negeri ini tak memberinya penghargaan yang layak. Tentu kita masih ingat, saat beliau melakukan "protes keras" kepada pemerintah pada tahun 2012.
Sebab, setelah lebih dari 30 tahun sejak Suyadi mencipta Unyil, hak cipta Unyil dan kawan-kawan dipegang PPFN melalui surat kontrak Nomor 139/P.PFN/XII/1995. Suyadi sama sekali tidak mendapatkan royalti dari setiap penggunaan karakter dalam serial Unyil. Suyadi hanya dibayar mengisi suara Pak Raden. "Sebelum meninggal, saya ingin hak saya dikembalikan kepada saya," katanya dalam konferensi pers di kediamannya kala itu.
Dengan protesnya itu, Pak Raden berharap bisa menyadarkan para pegiat seni agar nasib seperti yang dialaminya tidak dirasakan oleh penerusnya. Surat perjanjian bertanda tangan tahun 1995 itu, menurut Pak Raden, memiliki jangka waktu kepemilikan hak cipta atas 11 karakter dalam serial Unyil. Namun, di surat perjanjian selanjutnya tidak lagi dicantumkan jangka waktu kepemilikan hak cipta.
Pak Raden pun tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa berjuang untuk hak cipta atas 11 karakter Unyil tersebut kepada Menteri BUMN waktu itu, Dahlan Iskan. Pertanyaannya, kenapa itu semua dilakukan sekarang? Dengan tenang, Pak Raden menjawab karena dia tidak lagi muda. Tidak seperti dulu ketika masih punya banyak sumber penghasilan. Kini, disiksa oleh encoknya, sulit baginya untuk bekerja seperti dulu lagi. "Saya tidak lagi bisa loncat ke sana loncat ke sini lagi," katanya.
Entahlah bagaimana kabar selanjutnya dari "protes" Pak Raden kala itu. Benar kata beliau, dia memang telah tua dan sakit-sakitan. Selamat jalan Pak Raden. (teu/kcm)