RADAR BISNIS - Komisi VI DPR menyoroti pinjaman yang diberikan Bank Pembangunan China (China Development Bank/CBD) kepada tiga bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pinjaman ini dikhawatirkan menjadi pintu masuk bagi China menguasai perusahaan pelat merah.
Anggota DPR komisi VI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Iskandar D. Syaichu, mengatakan menyampaikan hal tersebut saat rapat dengan pendapat (RDP) Komisi VI bersama Kementerian BUMN dan BUMN terkait, di gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (30/9/2015).
Tiga bank yang dimaksud adalah PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI). Para direktur utama (dirut) bank-bank tersebut ikut hadir dalam rapat.
"Tiga bank ini bukan instrumen tukar guling saham China? Karena publik di luar pun menilai ini jadi salah satu skenario privatisasi tiga bank yang sangat sehat dan saya yakin kondisi dunia hari ini kita tidak akan bisa mendapatkan pinjaman dari negara mana pun. Saya ingin jaminan bahwa ini bukan pintu China menguasai saham-saham tiga bank ini," katanya.
Menjawab tuduhan tersebut, Deputi Bidang Jasa Keuangan Kementerian BUMN Gatot Trihargo, menyatakan utang tersebut tidak ada hubungannya dengan saham perusahaan pelat merah.
"Kita komitmen tidak akan gadaikan negeri ini. Bapak-bapak dirut yang ada di sini hatinya ke merah putih Pak. Jadi tidak ada yang digadaikan. Tidak ada tekanan sama sekali dalam negosiasi. Justru harus kita pandang sebagai kepercayaan negara dunia kepada Indonesia di saat kondisi ekonomi dunia tidak membaik. Tidak ada yang kita jaminkan," kata Gatot.
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dwie Aroem Hadiatie, ikut bertanya soal kebutuhan modal BUMN dan rencana tambahan modal melalui Penyertaan Modal Negara (PMN).
"Saat ini berlangsung BUMN-BUMN mengajukan PMN. Di mana PMN itu menyedot uang negara triliunan. Apa jumlah tersebut itu tidak memenuhi pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan sehingga harus meminjam (dari China)?" Tanya Dwie.
"Kita terima kasih sekali kepada pimpinan dan bapak ibu sekalian karena telah memberikan PMN. Dana itu akan masuk sebagai ekuitas BUMN, dan nantinya akan meminjam kepada perbankan. Jadi komposisinya itu 30-70, 70 dari perbankan dan 30 dari BUMN," jawab Gatot.
"Yang pasti memang 5 tahun ke depan di RJPP kalau kita lihat pendanaan infrastruktur sangat luar biasa, berarti ada gap yang harus diisi sebesar Rp 335 triliun. Oleh karena itu, Ibu Menteri (BUMN) sudah menyetujui muatan pinjaman untuk meningkatkan infrastruktur dan pinjaman jangka panjang selama 10 tahun. Jadi sangat match dengan proyek infratruktur yang ada, jadi tidak missmatch," tambah Gatot.(ang/ang/fn)