Mafia Lapas — Jaringan Gelap yang Tak Pernah Mati

Administrator - Rabu, 15 Oktober 2025 - 12:20:49 wib
Mafia Lapas — Jaringan Gelap yang Tak Pernah Mati
Foto : Ilustrasi praktik pungli dan peredaran narkoba beserta ilustrasi Rutan dan Lapas. (dok/ist)

Radarriaunet | Terungkapnya kembali kasus narkoba yang melibatkan terpidana Ammar Zoni di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) bukanlah sekadar berita sensasional. Ini adalah alarm keras bahwa di balik tembok tinggi penjara, terdapat jaringan mafia yang sudah lama bercokol, terstruktur, dan sulit diberantas. Lapas, yang sejatinya menjadi tempat pembinaan dan rehabilitasi, justru berubah menjadi “markas bisnis gelap” yang dioperasikan oleh tangan-tangan bayangan dari luar dan dalam sistem.

Kasus ini hanya satu dari sekian banyak potret kebobrokan sistemik yang sudah menjadi rahasia umum. Berulang kali publik disuguhi berita penyelundupan narkoba, peredaran uang, prostitusi terselubung, hingga transaksi telepon dari balik sel. Semua terjadi dalam institusi yang seharusnya paling ketat pengawasannya. Jika pelaku kejahatan masih bisa mengatur jaringan dari balik jeruji, maka yang salah bukan hanya individu, tetapi sistem yang telah rusak sejak akar.

Jaringan Lama yang Tak Pernah Putus

Peredaran narkoba di lapas bukanlah fenomena baru. Selama bertahun-tahun, laporan demi laporan menunjukkan bahwa bisnis hitam ini berjalan seperti sebuah perusahaan raksasa — lengkap dengan struktur, hierarki, dan proteksi internal. Ada bandar yang menjadi “bos besar” di dalam penjara, ada kaki tangan yang mengatur distribusi, dan ada oknum petugas yang berperan sebagai pengaman atau perantara.

Mafia lapas bekerja dengan pola yang sangat disiplin: mengatur alur masuk barang terlarang, memanipulasi data pemeriksaan, hingga mengatur aliran dana hasil kejahatan melalui jaringan perbankan atau fintech. Celah-celah kecil dalam sistem keamanan dijadikan pintu emas untuk meraup keuntungan. Sementara itu, para petugas idealis yang mencoba melawan sering kali terpinggirkan atau “dibungkam” dengan berbagai cara.

Fenomena ini menunjukkan bahwa lapas bukan sekadar lembaga tertutup, tetapi juga arena ekonomi ilegal yang bernilai triliunan rupiah per tahun. Peredaran narkoba, suap, hingga fasilitas mewah di dalam sel menjadi bagian dari “ekosistem gelap” yang memupuk loyalitas dan ketakutan sekaligus.

Oknum dan Pundi-Pundi Kotor Kekuasaan

Sulit menafikan bahwa di balik kelanggengan praktik mafia lapas terdapat keterlibatan oknum aparat. Bukan hanya sipir, tetapi juga bisa menjalar ke atas — ke tingkat pejabat menengah, bahkan hingga ke lembaga penegak hukum lainnya. Di sinilah persoalan menjadi rumit.

Ketika hukum dikendalikan oleh uang, maka moral kehilangan daya. Lapas yang seharusnya menjadi simbol pertobatan berubah menjadi mesin pundi-pundi bagi oknum yang memanfaatkan kekuasaan. Mereka tidak sekadar membiarkan kejahatan terjadi, tetapi ikut diuntungkan darinya. Dari fasilitas mewah narapidana “kelas kakap”, telepon genggam, hingga peredaran narkoba, semua memiliki harga dan jalur transaksi.

Sumber-sumber internal kerap menyebut adanya “tarif keamanan” bagi narapidana tertentu agar aktivitas ilegal mereka tetap berjalan lancar. Inilah wajah lain korupsi — bukan dalam bentuk proyek pembangunan, melainkan dalam perdagangan moral dan keadilan.

Kenapa Tak Pernah Bisa Diatasi?

Pertanyaan mendasarnya: mengapa praktik semacam ini terus berlangsung meski sudah berulang kali terungkap? Jawabannya kompleks. Pertama, karena jaringan mafia lapas bersifat menyeluruh — dari petugas bawah hingga aktor eksternal yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik. Mereka saling melindungi karena memiliki kepentingan yang sama: keuntungan.

Kedua, sistem pengawasan yang lemah dan mudah dimanipulasi. Banyak lapas masih menggunakan metode pengawasan konvensional, sementara praktik kejahatan kini sudah sangat canggih dan digital. CCTV bisa dimatikan, razia bisa diatur, dan laporan bisa direkayasa.

Ketiga, lemahnya komitmen moral di tubuh birokrasi pemasyarakatan. Integritas tidak bisa dibangun hanya dengan seragam dan sumpah jabatan, melainkan dengan budaya pengawasan yang tegas dan konsisten. Sayangnya, di banyak kasus, pelanggaran internal diselesaikan secara “kekeluargaan” tanpa sanksi yang tegas, sehingga menjadi preseden buruk yang berulang.

Lapas Sebagai Ladang Bisnis Gelap

Seiring waktu, lapas justru berkembang menjadi miniatur dunia luar — ada hierarki, geng, bahkan pasar ekonomi tersendiri. Narapidana dengan kekuatan finansial mampu “membeli kenyamanan”, sementara yang miskin menjadi korban sistem. Dalam situasi seperti ini, pembinaan hanyalah formalitas di atas kertas, sementara praktik sesungguhnya adalah jual-beli kekuasaan.

Kondisi ini tentu mencederai keadilan. Bagaimana mungkin seorang narapidana bisa menjalankan bisnis narkoba dari balik sel tanpa bantuan pihak dalam? Mustahil. Maka ketika seorang artis atau bandar tertangkap kembali menggunakan narkoba di lapas, yang seharusnya disorot bukan hanya pelakunya, tetapi ekosistem yang membuatnya bisa melakukan itu.

Reformasi yang Selalu Gagal di Tengah Jalan

Setiap kali kasus semacam ini muncul, jargon reformasi selalu digaungkan. Namun, reformasi tanpa keseriusan hanya akan menjadi kosmetik politik. Pergantian pejabat, razia sesaat, dan wacana penggunaan teknologi hanyalah solusi permukaan jika tidak disertai dengan audit menyeluruh terhadap mentalitas aparat.

Pemerintah seharusnya tidak berhenti pada tindakan reaktif. Audit integritas, rotasi berkala petugas, digitalisasi pengawasan, serta penguatan sistem whistleblower perlu dijalankan secara nyata. Namun yang paling penting adalah kemauan politik — keberanian untuk menyentuh aktor besar di balik jaringan ini. Tanpa itu, reformasi lapas hanya akan menjadi sandiwara yang diputar ulang setiap kali skandal baru terungkap.

Penutup: Saatnya Membongkar dari Akar

Kasus Ammar Zoni hanyalah satu bab dari buku panjang yang berjudul “Mafia Lapas Indonesia”. Di balik tembok yang seharusnya membatasi kebebasan, justru tumbuh kebebasan baru untuk kejahatan yang lebih sistematis.

Negara tidak boleh kalah oleh jaringan ini. Lapas harus dikembalikan ke fungsi sejatinya: tempat rehabilitasi, bukan tempat transaksi. Dan itu hanya bisa terwujud jika pemerintah berani menyapu bersih oknum di dalam, sekaligus memutus mata rantai kepentingan ekonomi yang selama ini membuat mafia lapas tak pernah mati.

Selama uang masih menjadi bahasa utama di balik jeruji, maka keadilan hanyalah kata kosong — dan lapas akan terus menjadi surga bagi para penjahat yang tak pernah benar-benar dipenjara.

Ole Migo:  Pengamat  Sosial & Kebijakan Publik