Radarriau.net | Jakarta – Proyek pengadaan tiga kapal tanker milik PT Pertamina International Shipping (PIS) yang telah mangkrak selama satu dekade kembali menjadi sorotan. Proyek yang seharusnya rampung pada tahun 2015 ini diduga menelan kerugian hingga USD 25 juta (sekitar Rp 387 miliar) dan kini memunculkan pertanyaan besar tentang akuntabilitas di tubuh perusahaan pelat merah tersebut.
Berbeda dari proyek lainnya, ketiga kapal ini —MT Sembakung, MT Pattimura, dan MT Putri— seolah lenyap dari catatan aset perusahaan. Menurut Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, ketiga kapal ini "tidak pernah tercatat sebagai aset PIS" bahkan menjelang perayaan HUT RI ke-80 tahun 2025. Fakta ini mengindikasikan adanya potensi kerugian negara yang signifikan.
Galangan Kapal yang Bermasalah: Akar Masalah yang Terlupakan?
Hasil penelusuran menunjukkan bahwa dua galangan kapal yang ditunjuk untuk proyek ini ternyata sudah menghadapi masalah serius. MT Sembakung yang dipesan dari galangan kapal Chenye di Tiongkok tidak pernah diserahkan karena galangan tersebut dinyatakan bangkrut dan tutup permanen.
Sementara itu, dua kapal lainnya, MT Pattimura dan MT Putri, dipesan dari PT Multi Ocean Shipyard (MOS). Perusahaan ini merupakan anak usaha dari PT Soechi Line Tbk (SOCI). Ironisnya, MOS sendiri telah dinyatakan pailit pada tahun 2018. Situasi ini menciptakan skenario terburuk: uang muka yang sudah disetorkan Pertamina berpotensi hilang sepenuhnya.
"Ini bukan sekadar masalah teknis atau keterlambatan proyek, ini adalah skandal yang menunjukkan lemahnya pengawasan internal. Uang rakyat senilai ratusan miliar seolah menguap begitu saja tanpa pertanggungjawaban," kata Yusri, menggarisbawahi urgensi pengusutan kasus ini.
Tanggung Jawab dan Desakan Audit Investigasi
Kasus ini menjadi rumit karena minimnya transparansi dari pihak terkait. Pejabat PIS yang dikonfirmasi mengenai keberadaan kapal ini cenderung bungkam. Ini menimbulkan kecurigaan publik tentang siapa yang paling bertanggung jawab atas kegagalan proyek ini dan ke mana aliran dana tersebut mengalir.
Yusri mendesak Kejaksaan Agung untuk segera mengambil langkah investigasi. Menurutnya, kasus ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengungkap dugaan praktik korupsi yang lebih besar di lingkungan PIS. Mengabaikan kasus ini bukan hanya akan menyebabkan kerugian finansial, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis.
Dengan status galangan kapal yang bangkrut dan pailit, serta tidak adanya kejelasan aset, kini publik menantikan jawaban dari pihak berwenang. Akankah kasus tiga kapal "hantu" ini menjadi babak baru dalam pemberantasan korupsi di sektor energi Indonesia?
(red)