RADARRIAUNET.COM: Meski virus korona Wuhan atau Covid-19 hingga kini belum terdeteksi di Indonesia, kita memang tidak bisa lengah. Terlebih saat ini Covid-19 justru sedang naik pesat di luar Tiongkok.
Hingga kemarin petang telah 152 orang terinfeksi di Italia, dan 7 orang di antaranya meninggal. Di Korea Selatan, juga 7 orang telah meninggal hingga Senin, jumlah yang terinfeksi mencapai 763 orang.
Jumlah kematian lebih mengerikan terjadi di Qom, Iran, yang mencapai 50 orang dan 250 orang lainnya di karantina. Qom pun menjadi pusat infeksi terburuk setelah Wuhan, Tiongkok. Kondisi itu menunjukkan jika Covid-19 memang berbahaya.
Dengan prinsip itu maka kita sepakat dengan langkah pemerintah untuk mengkarantina 188 WNI anak buah kapal (ABK) World Dream. Memang awak dan penumpang kapal pesiar tersebut telah menjalani masa karantina begitu merapat di Hong Kong. Tes pemeriksaan pun telah dilakukan dan membawa hasil negatif Covid-19 sehingga akhirnya mereka diperbolehkan pulang.
Meski begitu kewaspadaan berlapis tetap mutlak di masa ini. Terlebih adanya kasus di mana kondisi infeksi yang tidak menunjukkan simptom. Sebab itu kehati-hatian dalam menghadapi virus ini bukanlah paranoia.
Selain itu karantina lanjutan di dalam negeri sesungguhnya bukan saja mengeliminasi kemungkinan infeksi yang tidak terdeteksi melainkan juga mengeliminasi kekhawatiran di masyarakat. Setelah lulus dari karantina tambahan maka para ABK bisa sepenuhnya beraktivitas normal.
Meski begitu memang wajar pertanyaan muncul mengenai pilihan tempat karantina jilid II ini. Bukan di Natuna seperti yang dijalani mahasiswa Indonesia dari Wuhan beberapa waktu lalu, melainkan Pulau Sebaru Kecil di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Kita dapat memahami jika pilihan pulau tidak berpenghuni itu tepat dari sisi mencegah penularan ke masyarakat umum. Begitu juga mencegah kekisruhan penduduk seperti yang sempat terjadi di Natuna.
Pulau Sebaru Kecil juga sudah punya modal awal untuk menampung pengunjung. Di pulau ini ada sumber air tawar dan fasilitas delapan bangunan bertingkat yang semula dirancang untuk klinik rehabilitasi pecandu narkoba.
Meski begitu berbagai perbaikan dibutuhkan karena fasilitas yang dibangun pada 2008 itu diakui tidak pernah digunakan untuk pengguna dalam jumlah besar dan lama. Kelemahan fasilitas mungkin bisa terdengar sepele namun bisa juga berdampak serius jika kita bicara virus epidemik.
Kita harus memahami jika tujuan karantina ini sesungguhnya bukan hanya melindungi kesehatan masyarakat melainkan juga para ABK sendiri. Sungguh ironis, jika tempat karantina nantinya malah menjadi tempat penularan virus hanya karena fasilitas termasuk sanitasi yang tidak memadai.
Sebab itu keseriusan pemerintah dalam mencegah masuknya Covid-19 haruslah dibarengi dengan kesiapan fasilitas karantina non-rumah sakit yang memadai. Lebih lagi dengan kemungkinan jilid-jilid berikutnya dalam karantina WNI dari luar negeri maka sudah sepatutnya pemerintah segera mempersiapkan fasilitas yang lebih terencana.
RR/MI