Menguji Nyali KPK

Administrator - Jumat, 17 Januari 2020 - 13:50:24 wib
Menguji Nyali KPK
Umbu TW Pariangu. Foto: Mi

RADARRIAUNET.COM: Editorial Media Indonesia, Selasa (14/1), Mengembalikan Muruah Parpol menggarisbawahi pesan keras bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tegas dan berani mengungkap kasus suap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan (WSE) yang melibatkan unsur partai.

Sebagaimana kita tahu, persekutuan tiga kutub imoralitas mencuat dari balik operasi tangkap tangan (OTT) WSE. Pertama, soal anjloknya muruah KPU pascakomisionernya dijerat skandal suap penggantian anggota DPR-RI dari PDIP.

WSE ditersangkakan KPK sebagai penerima suap senilai Rp900 juta dengan menjanjikan penetapan Harun Masiku (politisi PDIP) sebagai anggota DPR-RI 2019-2024 pengganti antarwaktu (PAW) menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia.

Institusi 'perwasitan pemilu' yang sempat digandrungi karena selalu menggaungkan semangat antikorupsi hingga berinisiasi menyemprit para napi korupsi yang hendak ikut Pemilu 2019, ternyata tak imun pula dari lendir korupsi.

Desas-desus terdengar, penyidik KPK juga mengendus tawaran duit suap kepada empat komisioner selain WSE (Koran Tempo 14/1/2020). Semoga itu tidak benar. Namun jika benar, KPU sudah pasti mengalami geger reputasi.

Kedua, partai politik (PDIP) yang merupakan partai penguasa juga ikut terlindas banjir syahwat pragmatisme setelah mantan anggota Badan Pengawas Pemilu Agustiani Tio Fridelina dan seorang swasta Saeful, yang belakangan diketahui merupakan staf dari Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto juga tertangkap tangan sebagai pihak yang memberi suap kepada WSE. Bahkan WSE mengaku, uang suap tersebut berasal dari Hasto dan Harun Masiku yang kini menjadi buron.

Sebagai partai premolar dalam menyuarakan suara wong cilik dan ikon perjuangan konsientisasi demokrasi, PDIP mestinya menjadi teladan bagi penguatan politik kerakyatan dengan mengonsolidasikan partitur dan segenap elemen, serta perilaku demokrasi para elite dan pengurusnya untuk menjadi kekuatan penetratif bagi percepatan konsolidasi demokrasi nasional.

Lebih-lebih selaku simbol partai antitesis Orde Baru, PDIP dibayangkan menjadi kekuatan futuris dalam meletakkan sendi-sendi demokrasi di seluruh dimensi kepartaian dan perpolitikan nasional.

Menjadi partai yang turut mengandung bayi KPK dan mewarisi spirit ideologi Soekarno-isme dalam berbagai proses agregasi kepentingan rakyat. Sayang ekspektasi tersebut kini seakan mengendap dalam keriuhan skandal suap yang justru berpotensi menyeret elitenya.

Pasrah
Selanjutnya, ketiga, meski tidak sedikit yang mengacungi jempol terhadap OTT yang dilakukan KPK terhadap komisioner KPU, di sisi lain, KPK tengah menjadi sentrum skeptisisme publik terkait dengan proses pengusutan kasus yang dianggap melempem. Pasalnya, KPK seperti 'tidak bergigi' saat hendak menggeledah kantor DPP PDIP.

Penyidik KPK seolah pasrah begitu saja ketika dicegat masuk oleh petugas keamanan partai. Upaya penggeledahan oleh penyidik KPK dianggap ilegal karena tidak megantongi izin dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

Namun, setelah mendapat izin penggeledahan dari Dewas, penggeledahan tidak serta-merta dilakukan, tetapi baru bisa digeledah pada pekan ini. Itu berarti peluang penghilangan jejak, barang bukti amat mungkin terjadi.

Proses pemberantasan korupsi yang sesuai dengan prosedur memang sebuah keniscayaan dalam konteks penegakan hukum substantif untuk menghindari fitnah.

Namun, untuk kasus seperti suap, akselerasi pengungkapan kasus untuk menghindari peminimalan jejak kejahatan menjadi sesuatu yang tak terelakkan.

Ini karena karakteristik korupsi yang sejatinya sistemis, komplikatif, bersifat jejaring, dan menggurita, yang jika dianalogikan dengan kejahatan pembunuhan, ia merupakan pembunuhan tingkat satu karena terencana dari awal (Indriati, 2014).

Sikap enggan partai untuk kooperatif terhadap langkah hukum justru bisa menjadi advertensi sikap paradoksal partai kepada publik bahwa partai belum siap dan konsisten menanggung konsekuensi moral dan hukum dari segala tindak-tanduk kadernya yang berpotensi menyimpang.

Padahal, prinsip seperti ini secara jangka panjang akan mereduksi eksistensi dan daya dukung adaptivitas organisasi terhadap situasi perkembangan yang terjadi di eksternal organisasi parpol (Ronald E Riggio, 1990). Dalam pengalaman Indonesia, partai yang disusupi isu korupsi selalu kesulitan untuk mengembalikan supremasi elektoral dan kepercayaan publik.

Kini KPK ada di puncak eskalasi ujian lancung, persis saat berhadapan dengan kasus yang diidap partai berpengaruh. Mungkin ada benarnya, revisi UU KPK kemarin ikut memengaruhi kerja cepat KPK.

Rantai birokrasi yang berbelit-belit, sembari minimnya koordinasi cepat antara Dewas KPK, komisioner, dan penyidik KPK dalam eksekusi penggeledahan objek suap seolah-olah menurunkan agresivitas dan keberanian moral tim penyidik KPK untuk bekerja profesional dan berintegritas.

Bukan tembok besar
Seharusnya, bukan jadi tembok besar bagi KPK jika memang KPK ingin membalikkan spekulasi miris di masyarakat, bahwa KPK periode sekarang terancam kehilangan taji pascaditetapkannya UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK. Mestinya langkah pemberantasan korupsi KPK lebih determinatif, menggebrak, dan insinuatif. Terutama, saat menghadapi skandal yang dilakukan oleh komisioner lembaga sebesar KPU dan parpol penguasa.

Kita tahu, korupsi di level parpol menjadi momok yang paling menakutkan dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air. Mengingat di sana ada unsur jual-beli dan kapitalisasi pengaruh, menerapkan korupsi dengan modus diam-diam alias tutup mulut (clandestine), dan proses normalisasi korupsi melalui rasionalisasi dan institusionalisasi korupsi (Asforth & Anand (2003).

Janji Ketua KPK Firli Bahuri untuk bekerja keras memberantas korupsi, dengan bersinergi dengan berbagai elemen masyarakat (Metro Pagi Prime Time 15/1/2020), mestinya perlu dibuktikan secara konkret. KPK di bawah nakhodanya tidak boleh lagi merepetisi kerja-kerja lama eliminasi korupsi yang kerap digembosi kekuatan politik yang berafiliasi dengan rezim kekuasaan.

KPK harus berani mengungkap motif dan otak sesungguhnya di balik skandal suap PAW anggota DPR-RI dari PDIP tersebut tanpa pandang bulu. Ini penting artinya sebagai shock therapy dalam rangka 'bersih-bersih' di tubuh parpol.

Menurut Karstev & Ganev (2004), dalam proses pemberantasan korupsi, tidak semata fokus pada individu-individu yang korup karena memperkaya diri dari korupsi merupakan akibat sampingan dari keputusan partai politik untuk menggunakan korupsi sebagai instrumen yang diperlukan untuk memenangkan pemilu.

Semoga KPK mampu menunjukkan nyali terbaiknya. Jika tidak, publik akan makin skeptis, tidak saja pada KPK, tetapi juga pada nasib pemberantasan korupsi di Tanah Air.

 

RR/MI