Natuna (Tetap) Milik Kita

Administrator - Kamis, 16 Januari 2020 - 15:31:52 wib
Natuna (Tetap) Milik Kita
Anastasia Wiwik Swastiwi. Foto:Mi

RADARRIAUNET.COM: Salah satu potensi gangguan terhadap kedaulatan Republik Indonesia terkait dengan sengketa yang terjadi di Laut Natuna Utara. Tulisan terkait dengan memanasnya kasus Natuna ini sudah sangat banyak dikupas di media massa, terutama dari perspektif politik.

Namun, nyaris belum disinggung bagaimana sejarah Natuna berikut potensi sosial budayanya. Padahal, aspek kesejarahan berikut potensi sosial budaya menjadi nilai lebih untuk mempertahankan Natuna dan kedaulatan negara kita.

Natuna dalam perjalanan sejarah

Gugusan Pulau Natuna Besar awalnya bernama Pulau Serindit dan berkembang penamaannya menjadi Pulau Bunguran. Pulau Bunguran inilah serta pulau-pulau lainnya, seperti Pulau Siantan, Pulau Jemaja, Pulau Subi, Pulau Serasan, Pulau Laut dan Pulau Tambelan, berdasarkan cerita rakyat yang berkembang, sekitar abad ke-16 sudah diperintah seorang Datuk Kaya.

Dalam istilah lokal, pemimpin wilayah itu disebut dengan 'Tokong Pulau'. Julukan 'Tokong Pulau' diberikan kepada Datuk Kaya di Pulau Tujuh mengibaratkan seorang pemimpin yang mengendalikan pemerintah di wilayah terkecil. Pada 1857, kekuasaan seorang Datuk Kaya diberi hak oleh Sultan Riau sesuai dengan ketentuan adat yang ada pada masa itu.

Wan Taruhsin (2000) menyebutkan bahwa pada 1857 terdapat suatu perjanjian yang berisikan sumpah setia Sultan Mahmud Al Muzafar Syah yang menyebutkan 'Tokong Pulau' termasuk dalam kawasan Riau Lingga dengan masing-masing memiliki wilayah.

Selanjutnya, Djoko Marihandono (2019) menyebutkan bahwa setelah 1864 Pulau Tujuh menjadi bagian dari Kesultanan Riau Lingga. Menurut daftar yang terlampir pada kontrak pelengkap tanggal 19 Agustus 1864, Pulau Tujuh terdiri atas hampir 300 pulau.

Pulau-pulau tergabung dalam Kepulauan Anambas di bawah Jemaja, Kepulauan Anambas di bawah Siantan. Kepulauan Natuna Besar, Kepulauan Natuna Utara. Kepulauan Natuna Selatan. Lalu, Kepulauan Perompak dan Kepulauan Tambean.

Tiap-tiap kepulauan ini terdiri atas 6-76 buah pulau. Setelah berakhirnya Kerajaan Riau-Lingga, wilayah ini kemudian menjadi bagian dari kedaulatan Republik Indonesia.

Pesona Natuna

Natuna memiliki potensi ekonomi lain selain sumber daya ikan, gas, dan minyak bumi. Berdasarkan naskah Pohon Perhimpunan Peri Perjalanan yang ditulis Raja Ali Kelana dari 9 Februari 1896 hingga 6 Maret 1896, dan diperkuat Vleer (1935), menyebutkan, pertama, tanah yang paling subur ialah tanah Pulau Bunguran dengan dibuktikan hasil kelapa kering (kopra) yang berlimpah ruah dan memiliki 1.420 dusun kebun kelapa.

Kedua, kapal dagang dan perahu-perahu besar yang masuk-keluar di Pelabuhan Sedanau 40 buah serta tongkang yang berangkat sampai dua dan tiga kali keluar dari Pelabuhan Sedanau menuju Singapura kemudian ke Kuching dan Serawak.

Ketiga, hutan belukar sangat lebat dan banyak mengandung air. Selain itu, banyak juga ditemukan sungai yang relatif luas.

Keempat, ditemukan banyak jenis hasil hutan, seperti rotan dan kayu-kayuan. Jenis Kayu tersebut antara lain kayu balau, kayu rengas, kayu serayu, kayu belian, kayu tempinis, kayu merbau, dan kayu mentigi. Vleer (1935) menyebutkan bahwa jenis-jenis kayu tersebut tersebar di Pulau Jemaja, Siantan, Matak, Serasan, dan Bunguran. Bahkan, pasar Eropa dan Tiongkok menunjukkan minat pada jenis kayu ini.

Kelima, ditemukan hasil laut yang banyak mengandung jenis ikan, gamat (teripang), kima (sejenis karang), rumput laut (untuk dijadikan agar-agar). Ada tujuh jenis gamat atau sejenis makanan laut ini, yaitu gamat belah, batang pandan, gulung, suluh, teripang, suluh keras, dan siring limau. Terkait dengan jenis gamat ini, Vleer dalam Memorie van overgave Betreffende de Onderafdeling Poelau Toedjoeh, Afdeeling Tandjoeng Pinang, Residentie Riouw en Onderhorigheden 14 December 1935 menyebutkan beberapa jenis gamat lainnya, yaitu gamat susu, gamat pulut, gamat belanan, gamat tapak, gamat pandan, gamat siang, gamat malam, dan gamat mata punai (Vleer, 1935: 53).

Keenam, terdapat juga sarang burung, madu hutan, telur penyu, dan sebagainya. Vleer (1935) menyebutkan meskipun produksinya tidak begitu besar, hampir semua wilayah di Natuna memproduksi sarang burung. Sarang burung yang ada bahkan dibedakan dua jenis, yaitu sarang burung putih dan sarang burung hitam. Demikian juga dengan telur penyu yang ditemukan di hampir setiap pulau di wilayah Natuna.

Ketujuh, masyarakatnya memiliki kemampuan bertenun kain, membuat anyam-anyaman. Potensi ekonomi seperti disebutkan dalam naskah Pohon Perhimpunan Peri Perjalanan dan dalam tulisan Vleer (1935) seperti tersebut di atas masih dapat dijumpai hingga sekarang.

Ditinjau dari sejarahnya, wilayah Natuna masuk Kerajaan Riau Lingga. Setelah berakhirnya Kerajaan Riau Lingga pada 1913, Natuna menjadi wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Kehidupan sosial ekonomi dan budayanya pun mengikut adat Melayu. Adat yang berlaku di Natuna sebagai bagian dari Kepulauan Riau Indonesia.

 

RR/MI