Jakarta: Harga minyak mentah dunia merosot pada perdagangan Selasa (5/2) waktu Amerika Serikat (AS). Pelemahan dipicu oleh lunglainya data pemesanan pabrik AS yang menyebabkan kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi.
Di sisi lain, pelemahan harga minyak dibatasi oleh pengenaan sanksi AS terhadap Venezuela dan implementasi kebijakan pemangkasan produksi minyak mentah oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak.
Disitat Dari CNN Indonesia, Rabu (6/2/2019), harga minyak mentah berjangka Brent pada perdagangan Selasa (5/2) merosot US$0,2 menjadi US$62,32 per barel. Di awal pekan, harga Brent sempat menyentuh level tertingginya dalam dua bulan terakhir US$63,63 per barel.
Pelemahan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS sebesar US$0,56 atau 1 persen menjadi US$54 per barel.
"Saya pikir pasar minyak sedang mencoba memutuskan apakah pemesanan pabrik akan membebani harga atau sanksi minyak Venezuela akan menopang harga. Hasilnya, kita melihat pasar yang berfluktuasi," ujar Presiden Lipow Oil Associates di Houston.
Sementara, Analis Komoditas Senior RJO Futures Phillip Streible menilai pasar minyak juga sedikit melemah seiring investor yang merelokasi asetnya.
"Mereka semua loncat ke pasar modal dan keluar dari beberapa pasar lain yang mungkin terbebani oleh hubungan dagang AS-China atau pasar yang terpengaruh oleh indeks dolar," ujar Streibble.
Pada perdagangan Selasa (5/2), kinerja Wall Street tercatat sedikit lebih tinggi. Hal sama juga terjadi pada dolar AS.
Meskipun demikian, sejumlah analis menyatakan sanksi AS terhadap Venezuela membuat pasar memusatkan perhatian pada pasokan global yang lebih ketat. Banyak kapal tanker yang saat ini terjebak di pesisir Venezuela tidak dapat bergerak karena perusahaan minyak pelat merah Venezuela PDVSA meminta pembayaran yang tidak bisa dilakukan karena sanksi AS.
Pasokan minyak mentah berat dari Venezuela jarang, Produsen minyak lain seperti Meksiko dan Kanada juga menghadapi tantangan pada produksi dan ekspor.
Sementara itu, OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia, telah sepakat untuk memangkas produksinya yang berlaku efektif mulai bulan lalu. Kebijakan itu bertujuan untuk meredam pasokan global yang membanjir.
Secara umum, industri perminyakan meyakini pemangkasan pasokan tersebut akan membantu menyeimbangkan pasar pada 2019, khususnya dengan pesatnya pertumbuhan pasokan minyak mentah AS.
"Anda akan melihat OPEC menjalankan kebijakannya dengan disipln dan oleh karenanya harga terlihat cukup kuat di sekitar yang ada saat ini," ujar Kepala Keuangan BP Brian Givalry kepada Reuters.
Givalry memperkirakan permintaan akan tumbuh sebesar 1,3 juta hingga 1,4 juta barel per hari (bph) pada 2019 atau hampir sama dengan tahun lalu.
Berdasarkan survei Reuters, pasokan negara-negara anggota OPEC telah merosot paling banyak dalam dua tahun terakhir. Hal itu terjadi pemangkasan produksi yang terjadi di Arab Saudi dan Negara Teluk melampaui komitmen kesepakatan OPEC. Selain itu, produksi minyak mentah di Libya dan Venezuela juga tercatat menurun.
Kendati demikian, masih ada kekhawatiran terhadap laju pertumbuhan perekonomian global. Pemesanan baru untuk produk buatan AS secara tak terduga turun pada November lalu. Berdasarkan data yang dirilis pada Senin (4/2) lalu, penurunan tajam terjadi pada permintaan mesin dan peralatan listrik.
Selain itu, proyeksi perekonomian global dan prospek pertumbuhan permintaan minyak mentah juga tertekan oleh data perekonomian China yang buruk serta tensi perdagangan AS-China.
RRN/CNNI