Kerek Target Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Dikritik

Administrator - Jumat, 07 Juli 2017 - 22:13:15 wib
Kerek Target Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Dikritik
Sejumlah pengamat menilai keputusan pemerintah untuh mengerek target pertumbuhan ekonomi pada tahun ini tidak tepat. Cnni Pic

Jakarta: Optimisme pemerintah mengerek proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi 5,2 persen di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (R-APBNP) 2017 dinilai belum tepat.

Pasalnya, harapan pertumbuhan dari indikator ekspor terlalu tinggi dan penurunan proyeksi pertumbuhan investasi justru bertolakbelakang dengan sentimen positif yang dimiliki Indonesia.

Berdasarkan R-APBNP 2017, pemerintah membidik pertumbuhan ekspor meroket menjadi 4,8 persen dari semula 0,1 persen di APBN 2017. Sedangkan impor diproyeksi tumbuh mencapai 3,9 persen dari sebelumnya 0,2 persen. Lalu, investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) justru turun pertumbuhannya dari 6,0 persen ke 5,4 persen.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus melihat, pertumbuhan ekspor sampai akhir tahun memang memiliki potensi menggeliat sampai penghujung tahun.

Hal itu dipicu oleh meningkatnya harga sejumlah komoditas, seperti harga minyak, minyak kelapa sawit (Crude Palm Oils/CPO), batu bara, karet, dan lainnya. Namun, ia melihat pergerakannya masih fluktuatif sehingga belum bisa memberikan jaminan akan terjaga baik sampai akhir tahun.

"Memang ada beberapa perbaikan harga komoditas tapi ini belum sebaik tahun 2011 sehingga belum bisa dipastikan sumbangannya akan sebesar itu kepada pertumbuhan sampai akhir tahun," ujar Heri kepada awak media, Jumat (7/7).

Selain itu, Heri melihat, sumbangan ekspor belum tentu besar pula lantaran sekitar 70 persen hasil ekspor Indonesia masih didominasi oleh hasil industri tingkat rendah, yaitu industri yang kebanyakan hanya menjual komoditas mentah dan industri pengolahan yang nilai tambahnya masih kecil.

"Saat ini ekspornya masih di industri rendah, minim teknologi. Kecuali kita mengekspor barang yang tinggi teknologi, misalnya komputer, mesin, pesawat, baru nilai ekspornya kecil sekalipun volumenya rendah," kata Heri.

Imbasnya, kendati ekspor ada potensi menggeliat dan berhasil mengerek pendapatan masyarakat yang selanjutnya diharapkan bisa mendongrak daya beli dan konsumsi rumah tangga, efeknya belum sebesar itu. Sebab, di satu sisi, potensi ekspor masih terbatas pada industri berbasis komoditas yang minim tenaga kerja.

Sedangkan, seharusnya pertumbuhan ekspor dinikmati oleh industri yang berorientasi menggunakan banyak tenaga kerja agar semakin banyak kesempatan yang dihasilkan dan lebih terasa dalam menambah penghasilan masyarakat, daya beli, dan konsumsi rumah tangga.

Kendati begitu, Heri membenarkan bahwa perekonomian global memang mulai pulih sehingga harga komoditas membaik dan ada potensi ekspor.

Namun, seharusnya, bila pasar dunia sudah membaik, hal ini dimanfaatkan oleh industri dalam negeri untuk mengalihkan produksinya dari pasar dalam negeri yang masih tergerus daya beli rendah, ke pasar luar negeri, karena ada potensi ekspor yang besar.

"Misalnya yang tekstil itu, seharusnya lebih optimal untuk jual ke luar. Jadi, potensi pertumbuhan ekspor kita semakin luas, tidak hanya dari komoditas tapi dari industri lain dapat untung semua," jelas Heri.

Investasi

Sedangkan dari sisi investasi, Heri melihat bahwa penurunan target pertumbuhan investasi dari 6,0 persen ke 5,4 persen lantaran selama ini pemerintah belum bisa benar-benar merangkul investor untuk menanamkan dananya di Tanah Air. Meski memiliki banyak proyek infrastruktur, mengantongi kelayakan investasi dari tiga lembaga rating, dan lainnya.

Pasalnya, bila dilihat dari berbagai promosi dan negosiasi dengan negara luar, rupanya tak banyak yang berujung pada 'deal' investasi. Belum lagi, di satu sisi pemerintah terlihat hanya fokus mengejar investasi untuk proyek infrastruktur.

"Memang infrastruktur ini harus ada tapi jangan lupa kalau ada masyarakat dan industri dalam negeri yang harus tumbuh juga. Kan lebih baik kalau investasinya itu bangun industri apalagi yang bisa kasih nilai tambah besar ke ekonomi," pungkas Heri.

Tak jauh berbeda dengan Heri, Ekonom Bank Pertama Josua Pardede melihat, pemerintah tak bisa terlalu berharap pada ekspor lantaran sekalipun ada perbaikan ekonomi global, ekspor masih berorientasi komoditas dan masih ada bayang-bayang ketidakpastian dari Amerika Serikat (AS).

"Ekspor 40 persen masih bahan mentah. Belum lagi, ada bayang-bayang proteskionalisme AS, itu kan negara mitra dagang kita. Walau belum ada ancamannya tapi tetap harus hati-hati," kata Josua.

Sementara, dari sisi investasi, Josua menilai, proyeksi penurunan target perrtumbuhan investasi pemerintah memperlihatkan kepesimisan, namun dirasanya memang pemerintah ingin lebih realistis mematok target.

Sebab, berkaca dari realisasi investasi di kuartal I 2017 masih rendah, hanya sekitar 4,8 persen. Padajl, menurutnya, untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, setidaknya investasi harus bisa digenjot ke kisaran 8,0 persen.

"Memang investasi ada di non-bangunan, alat berat, konstruksi tapi sampai Mei masih di bawah 30 persen target. Investasi swasta masih lemah," imbuh Josua.

Untuk itu, Josua melihat sekalipun menurunkan target pertumbuhan investasi, namun pemerintah tak boleh berpangku tangan menyelesaikan sejumlah hal untuk menjaga iklim investasi.

Pertama, menyinkronkan koordinasi perizianan pemerintah pusat dan pemeritnah daerah yang masih banyak kendala. Kedua, membuat kebijakan penghapusan daftar negatif investasi (DNI) yang selama ini memberi sentimen negatif pada Indonesia. Ketiga, memaksimalkan impelementasi berjilid-jilid paket kebijakan ekonomi yang telah dibuat oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

gir/cnni/rrn