Kemenkeu Cek Silang Data KPK Soal Pengemplangan Pajak Sawit

Administrator - Kamis, 04 Mei 2017 - 23:34:19 wib
Kemenkeu Cek Silang Data KPK Soal Pengemplangan Pajak Sawit
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memastikan bakal memeriksa sebanyak 70 ribu wajib pajak tersebut sehingga datanya juga diperbaharui. Cnni Pic

Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) menilai dugaan penghindaran pembayaran pajak oleh 63 ribu wajib pajak (WP) yang diendus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit (KSPKKS) 2016 memang benar, karena merupakan data yang berasal dari DJP sendiri.

"Bahwa data dari tingkat kepatuhan pembayaran pajak dari sektor sawit masih belum tinggi, itu betul. Karena apa yang dibilang KPK itu datanya dari kami," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) DJP Hestu Yoga Saksama saat dihubungi media, Kamis (4/5).

KPK Temukan 63 Ribu Wajib Pajak Industri Sawit Kemplang Pajak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sekitar 63 ribu Wajib Pajak di sektor industri sawit bermasalah, terkait dengan dugaan penghindaran setoran pajak dan pemungutan yang tak optimal dari Direktorat Jenderal Pajak.

Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit 2016 milik KPK menemukan Ditjen Pajak tak mendorong kepatuhan Wajib Pajak (WP) di sektor perkebunan sawit sehingga terjadi penurunan pendapatan negara.

WP itu terdiri dari badan maupun orang pribadi di sektor komoditas tersebut. KPK, mengutip data Ditjen Pajak, menyatakan ada sekitar 70.918 WP baik badan maupun orang pribadi yang terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan. Namun, hanya sekitar 9,6 persen yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak. Jika dikalkulasi, maka ada sekitar 63 ribu WP yang tak melaporkan SPT Pajak ke Ditjen Pajak.

SPT Pajak secara umum adalah sarana WP guna melaksanakan kewajiban perpajakan setiap tahun, yang dikerjakan melalui perhitungan sendiri atau self assessment. “Tingkat kepatuhan Wajib Pajak badan sebesar 46,3 persen, turun dari 70,6 persen pada 2011,” kata Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan saat dikonfirmasi media, Rabu (3/5). “Sedangkan kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi sebesar 6,3 persen, turun dari 42,4 persen pada 2011.”

Lembaga antikorupsi itu menemukan rendahnya penerimaan pajak juga disebabkan oleh dugaan praktik penghindaran maupun pengelakan pajak oleh WP di sektor tersebut. KPK menyebut Ditjen Pajak sebenarnya mengetahui hal itu, namun memiliki keterbatasan untuk mengoptimalkan penerimaan negara karena data serta informasi yang minim. Hal itu, demikian KPK, menyebabkan kontribusi pajak di sektor sawit sangat minim dan tak sesuai dengan perputaran uang di sektor tersebut per harinya.

Diketahui, realisasi penerimaan pajak di sektor sawit hanya Rp22,2 triliun pada 2015 namun perputaran uang di industri itu diproyeksi mencapai Rp1,2 triliun per hari. KPK menyatakan perputaran uang per hari itu baru dihitung dari transaksi perdagangan Tandan Buah Segar (TBS) dan crude palm oil (CPO), belum termasuk komponen efek pengganda ekonomi lainnya.

Lembaga antikorupsi itu memproyeksi potensi penerimaan pajak dari sektor perkebunan sawit bisa mencapai Rp45 triliun-Rp50 triliun. “Artinya, pemerintah baru bisa meraup 40 sampai 45 persen potensi pajak dari sektor perkebunan sawit,” kata Pahala.

KPK juga menyatakan banyak perusahaan yang diduga tak melaporkan pajaknya sesuai dengan kondisi lapangan terkait dengan Hak Guna Usaha (HGU). Kajian itu memberikan contoh perusahaan yang diduga beroperasi di luar batas HGU yang dimilikinya, namun tak membayar pajaknya.

Pahala menegaskan kondisi semacam itu sering terjadi karena pengawasan dan pengendalian sektor sawit yang tak berjalan dengan baik. Hal itu, menyebabkan negara dirugikan dan potensi penerimaan pajak yang hilang.

KPK merekomendasikan sejumlah pihak terkait—Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Ditjen Pajak— melakukan integrasi data yakni izin HGU, data ekspor serta perdagangan antar pulau. Tak hanya itu, namun juga ada penegakan hukum bagi WP bandel.

“Ditjen Pajak membangun tipologi wajib pajak yang tak patuh dan melakukan proses penindakan hukum,” kata Pahala. Terkait dengan rendahnya kepatuhan WP industri sawit, media mengkonfirmasi Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Fadhil Hasan dan Ketua Umum Gapki Joko Supriyono. Namun, sampai berita ini diturunkan tak ada tanggapan dari kedua pengurus asosiasi tersebut.

Berkebun Tanpa Izin

Terpisah, hasil penyelidikan Eyes on the Forest (EoF) pada Januari lalu menemukan sedikitnya 25 perusahaan dan satu koperasi di Riau belum punya izin Pelepasan Kawasan hingga 2015, namun sudah mengembangkan tanaman tersebut di atas area seluas 100.093 hektare.

EoF adalah koalisi LSM yang berbasis di Riau, terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), dan WWF Indonesia program Sumatra Tengah.

Laporan itu menyatakan lahan tersebut sebelumnya adalah kawasan hutan, kemudian diubah berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 pada Agustus 2014.
Pemerintah akhirnya mengubah lahan kawasan hutan itu menjadi bukan kawasan hutan Provinsi Riau seluas 1,63 juta hektare—dan 100.093 hektare di antaranya dipakai oleh perusahaan sawit yang diduga tak berizin.

Riau dan Kalimantan Tengah diketahui adalah provinsi dengan area kebun sawit terluas yakni mencapai 2,4 juta hektare. Lainnya adalah Kalimatan Timur (2,1 juta hektare), dan Kalimatan Barat (1,6 juta hektare).

“Temuan EoF menunjukkan mayoritas kebun yang dianalisis belum diberikan izin Pelepasan Kawasan Hutan oleh Kementerian Kehutanan hingga 2015,” kata Made Ali, Wakil Koordinator Jikalahari, saat dikonfirmasi. “Dapat dipastikan pemodal sawit sudah menduduki kawasan tersebut sejak lama.”

EoF melakukan penyelidikan di lapangan dan diverifikasi dengan Data Progres Pelepasan Kawasan Hutan ke Perkebunan 2015 atau Data Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan untuk Perkebunan, mengacu pada Buku Basis Data Spasial Kehutanan 2015.

Made menegaskan pihaknya juga meminta KPK dan KLHK untuk menyelidiki dugaan pidana terkait dengan perubahan kawasan hutan di provinsi tersebut. Dia mengatakan KPK tak hanya menyelidiki dugaan pidana oleh aparatur negara, namun juga korporasi yang ikut di dalamnya.

Sedangkan untuk KLHK, dia meminta penyelidikan terhadap perusahaan sawit yang diduga terlibat. “EoF juga meminta KLHK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penindakan
terhadap perusahaan sawit yang telah mengembangkan kebun sawit pada kawasan hutan sebelum diterbitkan Keputusan Menteri,” tegas Made.

Menurut Yoga, sapaan akrabnya, rendahnya kepatuhan pembayaran pajak oleh pelaku industri sawit melalui pelaporan mandiri (self assessment) berdasarkan KSPKKS 2016 lahir karena terbatasnya informasi yang kemudian ditambah dengan terbatasnya kapasitas DJP di beberapa kota yang padat akan industri sawit.

Dari sisi terbatasnya informasi, banyak pelaku industri sawit di daerah yang merupakan pelaku kecil dan menengah sehingga kebanyakan dari mereka belum sepenuhnya mengerti tata cara pelaporan SPT secara mandiri sehingga mungkin masih ada beberapa data yang belum dilaporkan.

Sementara untuk terbatasnya kapasitas DJP, Yoga mengatakan, untuk kantor pelayanan pajak (KPP) yang di daerah, sumber daya manusianya tak sebanyak yang ada di pusat sehingga tak bisa mengawasi begitu banyak pelaku industri sawit di daerah.

"Contohnya di Tanjung Pandan, itu pegawainya hanya 60 orang ditambah bagian HRD 15 orang. Mereka tidak hanya harus mengawasi wajib pajak dari industri sawit tapi juga yang lain, sektor pemerintahan, perdagangan, perikanan, dan lainnya," jelas Yoga.

Kendati begitu, Yoga menilai, sebenarnya basis data perpajakan secara umum seharusnya telah meningkat. Pasalnya, KSPKKS 2016 merupakan kajian yang berdasarkan pada pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) 2015. Sementara, DJP telah menerima sejumlah laporan baru berdasarkan SPT 2016 yang dilaporkan di tahun ini.

Selain itu, di samping adanya perubahan data perpajakan dalam rentang satu tahun, basis data perpajakan memang seharusnya sudah bertambah lantaran DJP mengadakan program pengampunan pajak atau tax amnesty pada Juli 2016 hingga Maret 2017 lalu.

"Kami melihat data yang digunakan KPK itu dari basis data perpajakan 2015. Jadi, mungkin sudah ada perkembangan data perpajakan yang baru tax amnesty di tahun lalu," imbuh Yoga.
Selain itu, dari sisi wajib pajak dari industri sawit sendiri, Yoga memastikan bahwa DJP akan pula memeriksa sebanyak 70 ribu wajib pajak tersebut sehingga datanya juga diperbarui.

"Industri sawit ini dinamis, jadi kami juga akan periksa kembali yang 70 ribu wajib pajak itu, apakah mereka masih aktif atau tidak. Pokoknya semua kami sinkronkan kembali," tegas Yoga.

Oleh karena itu, sambung Yoga, DJP Kemenkeu akan segera menyinkronkan kembali seluruh data perpajakan yang dimiliki, khususnya data-data baru yang didapat dari program tax
amnesty. Sehingga pengawasan yang dilakukan oleh KPK dapat menyesuaikan dengan data perpajakan baru milik DJP usai menjaring sebanyak 956.793 wajib pajak melalui program tax amnesty dan sekitar 10,94 juta wajib pajak yang melapor SPT 2016 sampai 25 April lalu.

gir/cnni/rr