RADARRIAUNET.COM - BEBERAPA tahun terakhir, terutama setelah Kurikulum 2013 diberlakukan, dunia pendidikan kita begitu giat menggalakkan pendidikan karakter dengan orientasi melahirkan manusia Indonesia yang berkarakter. Hampir semua lembaga atau institusi yang berakaitan dengan pendidikan membincang pendidikan karakter dalam berbagai macam ekspresinya. Ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter itu sangat penting dalam melahirkan manusia Indonesia yang berkarakter.
Tolbert Mc Carroll, pernah mengatakan: “Karakter adalah kualitas otot yang terbentuk melalui latihan setiap hari dan setiap jam dari seorang pejuang spiritual.” Selain Carroll, John Luther pernah mengungkapkan: “Karakter yang baik, lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik, sebaliknya, tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit, dengan pikiran, pilihan, keberanan dan usaha keras.”
Apa yang diungkapkan oleh Carroll dan Luther menunjukkan bahwa untuk menjadi seseorang yang berkarakter (baca: berakhlak mulia) diperlukan usaha yang serius dan terus menerus. Menjadi manusia yang berakhlak mulia, tidak diberikan sebagai anugerah yang datang begitu saja atau diberi secara otomatis. Akan tetapi, ia memerlukan proses panjang: melalui proses pendidikan sejak dini hingga tua dan melalui latihan yang terus menerus. Baik melalui pendidikan formal dan informal, maupun pendidikan non formal.
Mengafirmasi Carroll, karakter ibarat otot. Otot-otot karakter akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih. Sebaliknya, ia akan kuat dan kokoh kalau sering dipakai. Seperti seorang binaragawan (bodybuilder) yang terus menerus berlatih untuk membentuk ototnya. Otot-otot karakter juga akan terbentuk melalui ptaktik-praktik latihan, yang akhirnya akan menjadi kebias`aan (habit).
Hal senada juga diungkapkan oleh Imam Al-Ghzali, dengan mengatakan bahwa akhlak adalah tabiat atau kebiasaan dalam melakukan hal-hal yang baik. Bahkan menurut Al-Ghazali, ukuran kemanusiaan seseorang sangat terlihat dari akhlaknya yang termanifestasi dalam kehidupannya sehari-hari. Jika ia berbuat buruk, maka sejatinya orang tersebut memiliki akhlak yang buruk. Sebaliknya, jika ia berbuat baik, maka sejatinya ia memiliki akhlak yang baik.
Menurut Aristoteles—seperti dikutip oleh Ratna Megawangi (2004)—“sebuah masyarakat yang budayanya memerhatikan pentingnya pendidikan tentang goodhabits kebiasaan baik, akan menjadi masyarakat yang terbiasa dengan kebiasaan buruk.”
Kita dapat memahami alasan banyak orang dewasa yang mengetahui perbuatan baik atau buruk, tetapi tidak konsisten dengan perilakunya. Seringkali mereka melakukan perbuatan buruk atau tidak baik. Hal ini bisa diakibatkan karena otot-otot karakternya yang lemah dan tidak berfungsi, sebab tidak pernah dipakai atau dilatih. Misalnya, semua orang tahu bahwa membuang asap rokok atau menyimpan sampah mesti pada tempatnya, akan tetapi tetap saja ada orang yang menyebar asap rokok di sembarang tempat dan membuang sampah sebebasnya tanpa mempedulikan kepentingan atau kesehatan orang lain bahkan dirinya sendiri.
Berikutnya, siapapun mengetahui bahwa mengunjing atau memfitnah adalah perbuatan dosa yang sangat berbahaya dengan ancaman neraka, namun tetap saja ada yang suka dan begitu bangga melakukannya. Kalau perilaku semacam ini terus menerus dilakukan sejak dini, maka ia akan menjadi karakter bawaan yang sangat sulit dihilangkan pada diri pelakunya di saat dewasa atau tua kelak.
Dalam konteks keluarga atau dunia pendidikan, kita sebagai orangtua dan guru bahkan dosen, harus menyadari bahwa dengan memberikan nasihat moral saja sangat tidak cukup. Kita mesti melatih anak kita, baik anak sendiri maupun anak didik, sejak usia dini agar terbiasa dengan perbuatan baik dan mulia. Perbuatan baik haris diwujudkan dalam perilaku dan kehidupan sehari-hari. Bukan saja di rumah dan di luar rumah, tapi juga di sekolah atau di kampus tempat anak-anak itu belajar atau mengais berbagai macam ilmu pengetahuan.
Pendidikan karakter atau pembiasaan perbuatan baik hingga menjadi karakter baik mesti dilakukan sejak dini agar ia tertanam kuat. Ibn Jazzar Al-Qairawani pernah mengatakan: “Sifat-sifat buruk yang timbul dari diri anak bukan berasal dari fitrah, tetapi timbul karena kurangnya peringatan sejak dini dari orangtua dan para pendidiknya. Semakin dewasa semakin sulit meninggalkan sifat-sifat tersebut. Banyak orang dewasa yang menyadari sifat buruknya, tetapi tidak mampu mengubahnya, karena sifat tersebut sudah mengakar di dalam dirinya, dan menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan.”
Membiasakan anak, murid dan mahasiswa kita serta diri kita untuk hidup bersih, suka menolong orang lain, selalu berkata santun, suka berlaku jujur, dan menjaga adab baik dalam kehidupan sehari-hari, akan membentuk rasa (feeling), atau kecintaan pada kebiasaan berbuat baik, yang kelak menjadi karakter yang menyatu dalam diri anak-anak kita juga diri kita.
Sekadar contoh, orang yang terbiasa berkata jujur, apabila dihadapkan dengan situasi yang menggiringnya untuk berkata tidak jujur, akan timbul rasa khawatir dan malu sehingga ia tidak akan berani berkata tidak jujur. Tapi sebaliknya, kalau ia memang sudah terbiasa berbohong bahkan suka bermain mata dengan kehidupannya (pragmatis), maka akan sangat mudah baginya untuk melakukan kebohongan, bahkan merasa bangga dengan kebohongannya.
Tak ada cara lain, membentuk karakter manusia yang unggul atau pembentukan manusia berkarakter harus dilakukan secara integral (menyeluruh) yang melibatkan aspek knowing (mengetahui), acting (melatih dan membiasakan diri) serta feeling (perasaan). Dengan begitu, upaya ini akan melahirkan manusia-manusia pecinta sekaligus pelaku kebaikan. Para pelaku dan pecinta kebaikan adalah mereka yang sudah terbiasa dan selalu rindu melakukan kebaikan. Manusia seperti inilah yang patut mendapatkan mandat mengelola dan hidup di muka bumi ini. Alquran menyebut mereka sebagai hamba yang saleh. “Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauhul Mahfuz, bahwasannya bumi ini diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS Al-Anbiya’: 105).
Sungguh, waktu atau kesempatan masih bersama kita. Itu pertanda proyeksi atau agenda melahirkan manusia berkarakter masih mungkin kita lakukan. Tentu bukan saja untuk anak kita (di rumah) dan anak didik kita (di sekolah dan kampus), tapi juga diri kita sendiri di seluruh lingkup kehidupan kita; baik di rumah, sekolah, kampus maupun di lingkungan masyarakat luas. Semoga saja begitu!
Oleh Syamsudin Kadir, Pegiat PENA dan Pendidikan Islam di IAI BBC/ fajarnews