RADARRIAUNET.COM - Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, di mana pun di Indonesia termasuk di Provinsi Riau, akhir-akhir ini memang tampak semakin mencuat ke permukaan. Tindak kekerasan ini bisa dikategorikan berupa setiap perbuatan yang berkaitan atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan, secara fisik, seksual, psikologis, ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan dan perampasan kebebasan hak anak dan lain-lain, baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan keluarga.
Beragam tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak ini, sudah sangat sering kita dengar, kita lihat dan kita baca di berbagai media massa dan media sosial baik media cetak atau media online.
Kasus kekerasan perempuan dan anak telah mengejutkan masyarakat. Tindakan ini bukan lagi menjadi persoalan kecil yang dianggap biasa. Oleh sebab itulah, penanganan kasus-kasus termasuk upaya pencegahannya harus dilakukan secara konprehensif, terpadu, terkordinasi, berkesinambungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Khusus Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau sendiri, tampaknya telah melakukan berbagai terobosan baik melalui instansi terkait yang membidangi hak perempuan dan anak hingga pencegahan dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat melibatkan banyak pihak, pemerintah, dinas sosial, aparat penegak hukum, LSM, masyarakat dan P2TP2A - BP3AKB Provinsi Riau.
Bahkan, betapa seriusnya Pemprov Riau dalam menangani persoalan perempuan dan anak ini, maka Pemprov kini sudah melakukan terobosan dengan langkah-langkah konkrit dan terprogram. Salah satunya adalah, dengan mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perlindungan Perempuan dan Anak di Riau dan ini juga telah diajukan ke DPRD Riau untuk dapat direvisi menjadi Perda.
Seperti diakui Sekretaris Daerah Provinsi Riau, Ahmad Hijazi ketika ditemui wartawan belum lama ini menyebutkan, kasus kekerasan perempuan dan anak menjadi skala prioritas yang ditangani pemerintah. Untuk itu perlu pengawasan khusus dan aturan yang pasti untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan perlindungan hak perempuan dan anak khususnya di Riau.
Diharapkan ke depan, kata dia, dengan adanya Perda ini nantinya dapat menekan dan meminimalisir kasus kekerasan yang banyak terjadi belakangan ini.
"Kekerasan itu dapat dibagi dengan kekerasan psikologi dan kekerasan fisik baik terhadap perempuan dan anak," sambung Hijazi di Pekanbaru.
Ahmad Hijazi menambahkan, belakangan ini banyak kasus kekerasan yang terjadi sehingga sudah sepantasnya pemerintah Provinsi Riau memberikan perlindungan secara khusus kepada masyarakatnya sendiri.
Kalangan DPRD Provinsi Riau juga memberi apresiasi dan dukungan atas tingginya komitmen Pemprov Riau terkait dengan perempuan dan perlindungan anak tersebut. Wakil Ketua DPRD Riau, Sunaryo memberikan apresiasi terhadap kebijakan pemerintah yang telah peduli dengan masyarakatnya. Tentunya ini akan menjadi hal penting bagi mereka sebagai wakil rakyat dan akan melakukan revisi sampai pada proses pengesahan atas pengajuan Ranperda Perlindungan Perempuan dan Anak khususnya di Riau.
" Ini akan kita sikapi serius dan kita sudah menerima pengajuannya dan tentunya kedepan ini akan menjadi kerja utama kami," kata Sunaryo.
PENGAJUAN Ranperda untuk melindungi tindak kekerasan yang dialami perempuan oleh Pemprov Riau ke DPRD, tentu sebagai bukti konkret betapa Pemprov Riau memang sangat berkomitmen menangani persoalan ini. Apalagi kasus kekerasan terhadap perempuan di Riau setiap tahun, memang cenderung terus meningkat.
Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman diwakili Sekdaprov Riau Ahmad Hijazi saat rapat paripurna pengajuan Ranperda Perlindungan hak perempuan dan anak dari tindak kekerasan, mengakui bahwa, kekerasan terhadap perempuan sering terjadi baik dalam kehidupan berumah tangga, di lingkunan tempat kerja dan berbagai kehidupan sosial masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan.
"Sehingga, Ranperda ini diharapkan dapat melindungi hak perempuan dari kekerasan. Dan upaya pencegahan supaya tidak terjadi lagi kekerasan termasuk pemaksaan dan perampasan kemerdekaan," terang Ahmad Hijazi.
Dijelaskannya, isu kekerasan terhadap perempuan sering dianggap sebagai masalah individu, padahal saat ini permasalahan kekerasan terhadap perempuan sudah menjadi masalah global. "Yang terekspos ke publik itu sebenarnya sudah mencapai puncaknya, padahal sebenarnya masih banyak didalamnya terjadi kekerasan terhadap perempuan," ujarnya.
Segala bentuk perlindungan perempuan sebagai korban kekerasan, maka mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984, pemerintah membentuk Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Menurut Sekdaprov Riau ini, kasus kekerasan terhadap perempuan di Riau terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) terjadi tren peningkatan kekerasan terhadap kaum perempuan pada tahun 2014 sebanyak 361 kasus. "Kemudian meningkat menjadi 475 kasus pada tahun 2015. Sementara sudah tercatat sebanyak 385 kasus sampai Agustus 2016 ini," papar Ahmad Hijazi lagi.
Diakuinya, kasus kekerasan perempuan dalam pelaksanaan kehidupan rumah tangga masih enggan dilaporkan karena dianggap aib keluarga. "Kemudian,terjadi karena korban memiliki rasa takut dan malu dan korban merasa tertekan bila kasusnya bila diketahui orang lain," terang Ahmad.
Sekdaprov menerangkan kekerasan terhadap perempuan mempunyai dimensi yang luas, karena itu penanganannya lintas sektor. Perlindungan merupakan kewajiban pemerintah, pemerintah daerah serta masyarakat.
"Tidak hanya perlindungan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan dalam lingkungan kerja, namun termasuk perlindungan dari perdagangan manusia," terang Ahmad. Dilanjutkannya, penanganan kasus terhadap perempuan dilakukan secara terpadu juga sudah ditangani komponen lain, seperti LSM dan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) yang tersebar di seluruh kabupaten kota di Riau.
Namun diakui pula, kesemuanya belum dapat menjalankan tugas dengan optimal, karena pendanaan dan payung hukumnya masih dalam bentuk peraturan gubernur (Pergub). Makanya Gubernur Riau menyampaikan ranperda utk dpat disetujui menjadi perda menjadi payung hukum melindungi hak perempuan.
Adv/zet/radarriaunet.com