RADAR HEALTH - Autisme tidak hanya muncul pada anak-anak. Orang dewasa nyatanya juga bisa mengalaminya. Bedanya, orang dewasa mungkin bisa melakukan deteksi mandiri.
Peneliti mengklaim kebiasaan orang dewasa yang gemar melakukan suatu hal secara berulang-ulang seperti mondar-mandir atau menggerakkan-gerakkan benda di atas meja tanpa alasan yang jelas bisa jadi menjurus pada gejala autisme.
Hal ini menginspirasi tim peneliti gabungan dari Cardiff University dan La Trobe University, Melbourne untuk mengembangkan sebuah metode deteksi sederhana yang dapat mengungkap risiko autisme pada orang dewasa. Tak lain dengan menghitung frekuensi dan tingkat keparahan dari perilaku atau kebiasaan tersebut.
Metode ini sendiri sudah diujicobakan beberapa waktu lalu, dengan melibatkan 311 partisipan, baik dari Inggris maupun Australia. Sebagian ada yang sudah didiagnosis dengan autisme, dan sebagian lagi tidak.
Tesnya berupa kuesioner, dengan pertanyaan seperti:
- Apakah Anda suka menyusun benda-benda ke dalam satu baris atau pola tertentu?
- Apakah Anda kerap menggerak-gerakkan benda yang ada di depan Anda secara berulang-ulang?
- Apakah Anda mudah terganggu bila melihat perubahan pada benda seperti noda kotoran pada baju atau goresan kecil di permukaan benda-benda tertentu?
Partisipan juga diminta memberikan penilaian terhadap serangkaian pernyataan, di antaranya:
- Saya lebih memilih pergi ke perpustakaan daripada ke pesta
- Saya lebih mudah menangkap suara-suara lirih dibanding lainnya
- Saya kerap memperhatikan nomor plat kendaraan atau informasi sejenis
Setelahnya, partisipan diminta menggambarkan tentang permainan, benda, orang atau hewan yang ada di sekitar mereka saat masih kecil. Lantas aktivitas kreatif yang mereka dilakukan saat ini juga dikorek oleh tes ini.
Ternyata mereka yang kerap melakukan sesuatu secara berulang-ulang rata-rata mendapatkan skor yang lebih tinggi dibanding partisipan lainnya. Kecenderungan ini jauh lebih menonjol pada mereka yang mengidap autisme.
"Tiap partisipan mempunyai kecenderungan untuk melakukan sesuatu secara repetitif, namun dari tingkat keparahan atau obsesinya terhadap sesuatu serta dampaknya bagi kehidupan sehari-hari, kita bisa mengindikasikannya pada gangguan autisme," simpul salah satu peneliti, Prof Sue Leekam seperti dikutip dari Journal of Autism and Developmental Disorders, Sabtu (22/8/2015).
Bedanya, dengan metode ini, diagnosis autisme tidak perlu bergantung lagi pada keterangan dan laporan dari orang tua, guru atau pendamping pasien tentang perilaku yang bersangkutan. Seseorang yang merasa memiliki kecenderungan perilaku repetitif tadi dapat mendeteksi risikonya sendiri.
"Bila ini dikombinasikan dengan tes dan pemeriksaan lain, kami meyakini ini akan sangat membantu para dokter dalam menentukan diagnosanya," lanjut Prof Leekam.
Kalaupun bukan autisme, pasien dapat dirujuk untuk melakukan deteksi risiko penyakit lain yang juga memperlihatkan gejala perilaku repetitif semisal obsessive-compulsive disorder (OCD), Parkinson dan sindrom Tourette, cukup dengan bermodalkan hasil dari tes sederhana ini.
Dalam waktu dekat, peneliti berencana melakukan ujicoba pada pasien autisme dari segala usia.(lll/up/fn)