RADARRIAUNET.COM - Puluhan jiwa meninggal karena kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2015. Ratusan hingga ribuan orang mengungsi, termasuk puluhan anak balita ke fasilitas bebas asap milik pemda. Jutaan orang di Sumatra dan Kalimantan terpapar asap.
Sayang, ingatan akan bencana itu terlupakan. Pada 2 September, puluhan orang mengadang dan menguasai kebebasan bergerak tujuh aparat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Rokan Hulu, Riau. Mereka bukan hanya mengancam menggunakan kekerasan, tetapi memaksa aparat menghilangkan nyaris semua bukti elektronik penyerobotan dan pembakaran lahan. Penghilangan paksa bukti itu terasa ironis karena boleh jadi kekurangan bukti situasi lapangan yang melatarbelakangi penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus karhutla terhadap 15 perusahaan di Riau.
Selain itu, sesama aparat penegak hukum terlihat kurang kompak. Menteri LHK menyatakan penegakan hukum oleh aparatnya dilawan oleh pelaku karhutla. Namun, Kapolri menyatakan perusahaan (PT APSL) merasa diperlakukan tidak adil, padahal lahan sawitnya terbakar (Republika, 6 September). Sebelumnya, foto sebagian petinggi Polda Riau dan petinggi PT APSL beredar di media sosial.
Polisi sebaiknya berpandangan serangan atau ancaman penggunaan kekerasan kepada aparat KLHK, sebagaimana penyidik PNS lainnya, juga merupakan serangan kepada dirinya. Yang runtuh wibawanya bukan cuma KLHK, tetapi semua aparat penegak hukum, bahkan dapat menggerus kredibilitas sistem hukum Indonesia.
Rendahnya wibawa aparat dan sistem hukum itu justru sudah dialami oleh polisi berkali-kali. Pada 27 Agustus, kantor Mapolsek Tabir, Merangin Jambi, diserbu dan dibakar massa sesudah polisi menangkap tiga warga yang menambang emas secara ilegal. Penyerbuan atau pembakaran kantor polisi juga terjadi di berbagai daerah, seperti Meranti, Riau; Sijunjung, Sumbar; dan Tulungagung, Jatim. Itu belum termasuk serangan yang dilakukan kelompok bersenjata.
Dalam kasus PT APSL 2 September, seperti juga kasus-kasus karhutla lain, polisi sebaiknya merujuk putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XII/2014 tentang pengujian materil UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bahwa MK telah menyatakan frasa "dapat" pada Pasal 95 ayat (1) dibatalkan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga penegakan hukum tindak pidana lingkungan hidup secara terpadu dilakukan penyidik PNS, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi menteri, dalam hal ini Menteri LHK. Dengan demikian, jika putusan MK dipatuhi, pengumpulan bahan keterangan dan penyelidikan yang dilakukan terhadap PT APSL pada 2 September justru dilakukan oleh aparat KLHK dan Polri di bawah koordinasi Menteri LHK. Bila aparat KLHK melakukannya sendiri, apalagi terlihat kurang didukung dalam perlindungan keamanan personel serta keamanan data dan informasi, termasuk bukti elektronik pelanggaran hukum, perlu dievaluasi efektivitas koordinasi di bawah Menteri LHK.
Dalam jangka pendek, beberapa langkah dapat dipertimbangkan. Pertama, untuk mencegah karhutla secara efektif, termasuk adanya serangan massa atau ancaman penggunaan kekerasan, perlu dipertimbangkan penggunaan UU No 15/2003 tentang Penetapan Perppu No 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pada Pasal 6, 7, dan 10, termasuk Penjelasan Pasal 6, diatur norma pemidanaan terorisme bidang lingkungan hidup. Karena itu, Pasal 7 dapat dibaca sebagai setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.
Pada Penjelasan diterangkan yang dimaksud dengan "kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup" adalah tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya. Termasuk merusak atau menghancurkan adalah dengan sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun ke dalam tanah, udara, atau air permukaan yang membahayakan terhadap orang atau barang. Bukankah karhutla mencemari lingkungan hidup, termasuk melepaskan zat berbahaya dan beracun, yang terbukti telah merenggut jiwa?
Kedua, aparat perlu memperkuat kapabilitas penyelidikan dini, pemantauan dan penjejakan (surveilans) dengan pesawat nirawak, selain dengan mengandalkan data satelit. Perekaman situasi lapangan dengan drone perlu dioptimalkan, baik untuk meminimalisasi risiko keamanan fisik bagi aparat, maupun untuk memperluas cakupan wilayah penyelidikan dan mempercepat pekerjaan penyelidikan. Pemerintah juga perlu melibatkan pesawat mata-mata TNI untuk membantu pemotretan dan perekaman dari udara. Pelibatan TNI juga untuk menimbulkan efek getar (deterrent effect) sehingga pembakaran area secara luas tidak terjadi lagi.
Selain karena kebutuhan taktis, TNI juga dapat membantu tugas pemerintahan di daerah sesuai Pasal 7 ayat 2 UU No 34/2004 tentang TNI. Bantuan ini semakin mendesak karena rakyat Indonesia sengsara akibat bencana asap tahun 2015. Terlebih, bencana asap sering menerpa negara tetangga, terutama Singapura dan Malaysia, sehingga mencederai citra Indonesia.
Ketiga, para pemimpin lembaga negara perlu memberi keteladanan dalam integritas, satunya kata, keputusan dan tindakan di lapangan. Kemitraan di antara institusi pemerintah juga harus ditingkatkan, dan itu dimulai dari koordinasi, kolaborasi, dan kerja sama para pemimpinnya. Jika para pemimpin dan aparat lapangan tidak bersatu, kejahatan korporasi takkan terkalahkan.
Oleh Fahmi Alfansi P Pane
Alumnus Magister Sains Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia/rol