RADARRIAUNET.COM - Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Perdilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradila Caesar meyatakan, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) harus mempertegas vonis hukuman bagi para pelaku korupsi perhutan yang selama ini dinilai masih belum maksimal.
Menurut Aradila, dalam kurun waktu tahun 2003-2016, terdapat 12 perkara korupsi dengan jumlah 35 pelaku pada sektor kehutanan yang telah atau sedang ditangani oleh KPK. Dari 35 pelaku, 34 orang telah divonis dan satu orang masih bersatus tersangka.
Namun hanya dua terdakwa saja yang berhasil dijatuhkan vonis berat dengan masa kurungan lebih dari 10 tahun penjara.
"KPK memang cukup serius menangani perkara korupsi perhutanan. Namun jika dilihat melalui sebaran hukuman, masih belum memuaskan. 21 pelaku masih dikenakan hukuman ringan, padahal kerugian negara sangat besar," ujar Aradila dalam sesi diskusi publik ICW pada Selasa (22/6) di Jakarta.
Aradila menyatakan, vonis hukuman bagi para pelaku ini sayangnya masih belum sesuai dengan kerugian negara yang jauh lebih besar dari vonis hukuman yang dijatuhkan. Kerugian negara akibat korupsi kehutanan ditengarai mencapai Rp2,2 triliun dengan nilai suap sekitar Sin$17 ribu atau Rp8,6 miliar.
Ardila menjelaskan, potensi kerugian negara akibat korupsi sektor kehutanan di luar yang telah berhasil ditangani KPK dipastikan jauh lebih besar lagi. Jika berkaca pada penelitian ICW tahun 2012 tentang kinerja pemberantasan korupsi dan pencucian uang di sektor kehutanan, kerugian negara yang berasal dari sektor non-pajak kawasan hutan bisa mencapai Rp169 triliun dalam kurun waktu tahun 2004-2007.
Nilai tersebut, lanjut Ardila, didapat dari perhitungan selisih nilai antara potensi penerimaan negara yang berasal dari dana reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dikurangi pendapatan negara yang diterima. "Negara seharusnya memperoleh Rp217,6 triliun dari pembukaan 8 juta hektare perkebunan sawit. Nyatanya, selama ini Kementerian Kehutanan hanya memperoleh sekitar Rp47,8 triliun," tambahnya.
Ardila mengharapkan ada peran dan aksi lebih dari KPK untuk mendalami dan menegaskan penanganan perkara korupsi khsusnya dalam sektor kehutanan. Penanganan perkara korupsi kehutanan oleh KPK selama ini dinilai belum benar-benar menjerat para koruptor terlebih membuat jera koorporasi secara langsung.
Hal ini disebabkan karena maraknya perkara korupsi kehutanan terjadi dalam cakupan tingkat pengadaan proyek serta perijinan wilayah. Kedua hal ini, tutur Ardila merupakan motif korupsi yang memang sulit dibuktikan karena seringkali bersifat transaksional dan tertutup.
"Selama ini, hukuman vonis hanya mencakup individu pelakunya saja. Jarang (vonis hukuman korupsi) yang benar-benar mencakup para pelaku beserta perusahaannya. Ini perlu dibenahi," kata Ardila.
Berdasarkan catatan Harian Radar Riau, sekurangnnya dari sejumlah kasus kehutanan di Provinsi Riau seharusnya sudah menjadi perhatian pihak KPK, dimana cukup banyak kasus kehutanan di Riau, tetapi hingga kini kasus kehutanan di Riau ini semakin tidak jelas ujung pangkalnya.
Baru-baru ini Pansus DPRD Riau dikabarkan telah melaporkan sejumlah Perusahaan di Riau Ke KPK, yaitu Kasus tentang kelebihan pada izin lahan perusahaan yang dinilai cukup berpotensi merugikan negara hingga Rp104 triliun.
Pansus DPRD Riau pada akhirnya membawa kasus kehutanan Riau ini ke Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Sebab, tindak lanjut dari kasus tersebut tidak ada kemajuan sejak diserahkan pada penegak hukum.
Terungkapnya persoalan itu, Sejak terbentuknya Pansus monitoring dan evaluasi perizinan HGU, IU-Perkebunan, HTI, HPHTI, HPH, Izin Usaha Pertambangan, Izin Industri, Izin Lingkungan (Amdal, UPL-UKL), pada 9 Maret 2015 lalu. Setelah selesainya tugas Pansus, pada Januari 2016, ditemukan kelebihan lahan tanaman seluas 301 ribu hektar yang dilakukan oleh 600 perusahaan di Provinsi Riau berskala besar dan kecil.
Dari 600 perusahaan tersebut, hannya 104 perusahan yang membayar pajak pada negara. Kemudian temuan itu, dilaporkan Pansus DPRD Riau ke Polda Riau, Kejaksaan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan dan Balai Lingkungan Hidup untuk ditindak lanjuti. Laporan itu, hasil putusan pimpinan DPRD Riau Nomor 33/KPTS/DPRD/2015.
"Setiap perusahaan yang sudah dimonotoring mempunyai kelebihan penggunaan lahan diluar izin rata-rata lebih 3 ribu hingga 4 ribu hektare, kemudian juga perambahan kawasan hutan, pencemaran lingkungan dan masalah pajak," ungkapnya.
Perusahaan yang terindikasi terlibat dalam kasus kehutanan di Riau diantaranya: perusahaan CS, JS, KAT, MSAL, WT, BBU, PS, PAL, SB, PM, HPM, DAP, ARP, AI, BTR, BIM, BSN, MK, ESP, SS, RKS, GM, EI, KTU, TPP, PN V, EN, HN, HA dan GHM.
Ketua Pansus monitoring dan perizinan lahan DPRD Riau Suhardiman Amby mengatakan, hasil monitoring dan evaluasi izin perusahaan sudah dilaporkan secara resmi pada penegak hukum. Namun, kelanjutan dari kasus tersebut tidak ada kemajuan sejak diserahkan kepada penegak hukum.
"Kita sudah melaporkan hasil temuan kita kepada penegak hukum dan karena, tidak ada kemajuan dalam penanganan kasus ini oleh penegak hukum. Kita berencana melaporkannya kepada KPK," kata Suhardiman Amby belum lama ini kepada media.
Pansus perlahanan DPRD Riau ini, kata Suhardiman, telah diawasi dan ditunggu-tunggu hasilnya oleh banyak pihak mengenai bagaimana tindak lanjut dari penegak hukum dalam kasus tersebut."Kita ingin kasus itu segera tuntas secepatnya. Karena perusahaan telah merugikan negara," ucap Suhardiman.
Suhardiman berharap, KPK segera mengambil alih kasus ini dan memproses sejumlah perusahaan yang terlibat itu. Sehingga, Perusahaan-perusahaan itu dapat mengembalikan kerugian negara dan mengembalikan lahan ke negara. "Mudahan persoalan ini selesai segera," tutup Sihardiman.
ALEX HAREFA/Cnn/Frc